Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MENILAI DEMOKRASI DI INDONESIA DALAM KONTEKS DEMONSTRASI

Negara Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai atau paham akan demokrasi, hal tersebut dapat kita lihat pada UUD 1945. Sebagaimana kita ketahui bersama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD  1945) adalah Konstitusi Republik Indonesia, yang telah mengalami beberapa kali perubahan. Dalam sejarah Ketatanegaraan Indonesia UUD  1945 telah mengalami perubahan sebanyak 4 kali. Periode perubahan yang dilakukan pada Sidang Umum MPR Tanggal 19 Oktober 1999, Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tanggal 18 Agustus 2000, Sidang Tahunan MPR Tanggal 10 November 2001 dan Sidang Tahunan MPR Tanggal 10 Agustus 2002.

Perubahan Konstitusi tersebut dari perubahan pertama hingga keempat telah melahirkan Sistem Ketatanegaraan yang baru, sistem ketatanegaraan tersebut adanya peralihan sebuah kedaulatan rakyat yang semula berada di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) didalam perubahan ketiga UUD 1945, kedaulatan rakyat berada ditangan rakyat. Sebagaimana diamanatkan didalam Pasal 1 Ayat (2) juga yang mana menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat yang dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Sekiranya apabila kita pahami secara umum maka dapat dikatakan bahwa Demokrasi adalah sistem politik yang memungkinkan semua warga bangsa mempunya kesempatan didalam mewujudkan sebuah aspirasi/suaranya. Dalam sejarah umat manusia tampah bahwa demokrasi berkembang sesuai dengan kondisi bangsa yang bersangkutan, termasuk nilai budayanya, pandangan hidup, serta adat-istiadanya.[1]

Penerapan demokrasi di Indonesia berbeda dengan demokrasi yang dipraktikan di negara-negara lain di dunia. Hal tersebut dipengaruhi oleh latar belakang yang berbeda-beda antara negara satu dengan lainnya. Latar belakang yang dimaksud sebagian besar dipengaruhi oleh  pandangan hidup bangsa atau ideologi, dimana Indonesia sebagai negara yang berlandaskan pada ideologi Pancasila seharusnya melaksanakan demokrasi berdasarkan nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila. Meskipun penafsiran terhadap Pancasila itu sendiri senantiasa mengalami perubahan tergantung pada rezim penguasanya, misalnya di Era Orde Lama dikenal dengan Demokrasi Terpimpin, di Era Orde baru lebih persis dengan istilah Demokrasi Pancasila, namun semua berujung pada kegagalan karena sesungguhnya substansi yang terdapat pada rezim Pemerintahan baik Orde Baru maupun Orde Lama berdimensi otoritarianisme, gagal karena tidak sesuai dengan semangat kerakyatan itu sendiri, bahkan kemerdekaan rakyat untuk bersuara baik lisan maupun tulisan merupakan barang langka pada waktu itu.

Selanjutnya dalam perkembangan demokrasi di Indonesia sejak bergulirnya era reformasi tahun 1998 hingga saat ini sebagaimana telah disampaikan dimuka, yang pada prinsipnya konstitusi kita telah mengakomodir prinsip-prinsip kerakyatan, maka dimensi-dimensi demokrasi nampak nyata di masyarakat kita, salah satunya tentang kebebasan untuk menyatakan pendapat, namun sebagaimana kita ketahui, bahwa dewasa ini ketidakpuasan rakyat sering terjadi dengan aksi-aksi yang dilakukan dalam bentuk demonstrasi atau populer disebut demo dengan turun ke jalan-jalan menyuarakan pendapatnya. Sebagai contoh yang menurut Penulis merupakan ingatan umum misalnya demo Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI terkait dugaan penistaan terhadap Agama Islam, demo penentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2017 DKI Jakarta dan demo-demo terkait dengan kenaikan harga BBM yang berujung pada tindakan anarkis. Pada intinya, demonstrasi selalu diklaim dalam rangka menyuarakan aspirasi rakyat yang berisi tuntutan-tuntutan, misalnya dalam demo dugaan penistaan agama menuntut agar pelakunya segera ditangkap dan ditahan, demo UMP DKI Jakarta 2017 menuntut agar UMP dinaikkan, dan demo BBM tentunya menuntut agar harga BBM diturunkan.

Menilai tentu ukurannya adalah nilai-nilai yang merupakan pandangan hidup bangsa, demokrasi di Indonesia disini diartikan sebagai demokrasi yang berjalan pada saat ini atau setidaknya demokrasi yang berlangsung sejak kedaulatan rakyat sebagaimana Pasal 1 ayat (2) Perubahan UUD 1945, sedangkan dalam konteks demonstrasi bertujuan untuk memperkecil luasnya pembahasan demokrasi itu sendiri, dimana dalam makalah ini mencoba melihat demokrasi di Indonesia dalam praktek menyatakan pendapat dengan turun ke jalan-jalan/demonstrasi yang diperagakan oleh masyarakat kita.

Soekarno didalam tulisannya menyatakan bahwa demokrasi itu pada hakikatnya adalah “pemerintahan rakyat, yang memberi hak kepada rakyat untuk ikut di dalam memerintah”[2]. Kebebasan rakyat untuk menyatakan pendapat merupakan salah satu sendi pemerintahan yang berdasar asas kerakyatan, secara konstitusional UUD 1945 telah mengaturnya di dalam Pasal 28, oleh karena itu demonstrasi yang hakikatnya dalam rangka menyatakan pendapat merupakan suatu kewajaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya saja demokrasi yang identik dengan makna kebebasan itu hendaknya dilakukan menurut cara-cara yang sesuai dengan karakteristik dan jiwa bangsa Indonesia supaya bernilai dan berdaya guna, bukan sebaliknya justru mendatangkan mudharat daripada manfaatnya.

Sekilas penulis menyampaikan bahwa Pancasila menginsyaratkan demokrasi direalisasikan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, serta nilai-nilai persatuan dan keadilan. Demokrasi yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, mewajibkan seluruh elemen negara untuk memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang cita-cita moral rakyat yang luhur. Demokrasi yang berdasarkan persatuan dan keadilan, dituntut untuk dapat melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia berdasarkan atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[3] Orientasi etis Hikmah-Kebijaksanaan juga menysaratkan adanya wawasan pengetahuan yang mendalam yang mengatasi ruang dan waktu tentang materi yang dimusyawarahkan. Melalui hikmah itulah, mereka yang mewakili rakyat bisa merasakan, menyelami, dan mengetahui apa yang diharapkan oleh rakyat Indonesia.[4]

            Berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini, khususnya tentang demonstrasi yang dilakukan secara terbuka dengan turun ke jalan-jalan oleh masyarakat Indonesia, dimana pemandangan ini dulunya merupakan sesuatu yang langka, maka apakah bentuk-bentuk demokrasi yang diperagakan tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila, khususnya didalam sila ke-4 yang orientasinya menuju kepada sebuah bentuk demokrasi yang dianggap paling sesuai dengan karakteristik bangsa indonesia sendiri. Berdasarkan uraian di atas, Penulis merasa penting untuk menggali lebih dalam lagi tentang, nilai nilai yang terkandung didalam Pancasila khususnya sila ke-4 serta implementasinya didalam proses demokrasi yang berlangsung di Indonesia.

Makna Demokrasi Ditataran Teoritis
Menguatnya pilihan atas sistem demokrasi di era modern tidak bisa dilepaskan dari dampak kemenangan Amerika Serikat dan sekutunya pada Perang Dunia II[5], serta runtuhnya beberapa negara dengan sistem pemerintahan non-demokrasi pasca PD II[6]. Sejak saat itu, berkembang paham, negara kuat adalah negara kaya dan negara kaya adalah negara yang rakyatnya makmur dan sejahtera, dimana negara-negara tersebut berhasil menggapai kemakmuran dengan menerapkan sistem demokrasi di negaranya. Bagaimanapun, konteks sejarah dunia yang demikian sedikit banyak memberi andil atas menguatnya kepercayaan bahwa demokrasi lebih memiliki peluang bagi hadirnya kesejahteraan dan kemakmuran dibanding sistem lainnya. Demokrasi, yang menempatkan rakyat sebagai subyek sekaligus sebagai obyek dengan slogannya yang terkenal “government of the people, by the people, for the people” memang lebih menarik ketimbang sistem yang menempatkan rakyat hanya sebagai obyek[7].

Sedemikian kuat pesona demokrasi hingga kata tersebut menjadi slogan politik yang biasa dikumandangkan oleh ‘siapapun’ untuk sistem pemerintahan yang ‘bagaimanapun’. Pemerintahan demokrasi atau penguasa negara yang totaliter dengan mudahnya mengklaim diri sebagai pemerintahan yang demoktatik. Sekedar untuk menjustifikasi bahwa sistem demokrasinya berbeda dengan yang dipahami secara umum, cukup dengan menambahkan predikat tertentu di belakang kata demokrasi. Demikianlah kemudian dikenal beragam istilah demokrasi seperti demokrasi rakyat atau demokrasi sosialis yang digunakan negara-negara penganut paham sosialis-komunis seperti Uni Soviet dan Eropa Timur, RRC, Korea Utara dan Kuba. Demokrasi Organik digunakan oleh dictator Jenderal Fransisco Franco, Spanyol; Demokrasi Terpimpin digunakan Nasser, Mesir; Kolonel Moammer Khadafy, Libya dan Ir. Soekarno, 1959-1965, Indonesia. Dan untuk lebih dari tiga decade Indonesia di era kepemimpinan Jenderal Besar H. M. Soeharto (1966-1998) menjalani kediktatoran pemerintahan dalam payung Demokrasi Pancasila. Hingga kini-pun demokrasi, dalam istilah utuh ataupun dengan embel-embel marak digunakan sebagai jargon politik. Pada kesimpulannya, sesudah perang dunia kedua kita melihat gejala bahwa secara formil demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia[8].

Secara peristilahan, kata ‘demokrasi’ berasal dari bahasa Yunani ‘demokratia’ yang terbagi atas dua arti pokok: Demos = rakyat; Kratos = Kekuatan; maka menjadikan arti sebagai kekuatan rakyat, atau suatu bentuk pemerintahan Negara, dimana rakyat berpengaruh diatasnya, singkatnya pemerintahan rakyat.[9] Pada dasarnya benih-benih pemikiran tentang demokrasi tumbuh pada jaman Yunani Kuno, yang  mengajarkan bahwa pada paham kedaulatan rakyat, maka rakyat adalah pemegang kedaulatan sesungguhnya, dimana kehendak rakyat menjadi sumber satu-satunya kekuasaan bagi setiap pemerintahan.[10] Sejak abad ke-6 sebelum masehi, bentuk pemerintahan Negara-negara kota di yunani adalah berdasarkan demokrasi. Athena membuktikan dalam sejarah demokrasi tertua di dunia bahwa pemerintahannya sungguh-sungguh melaksanakan kehendak rakyat yang sebenarnya.[11]

Pandangan beberapa ahli hukum terhadap istilah kedaulatan rakyat (People souveriegnty) diidentikan dengan istilah demokrasi (democracy) dengan landasan argumen bahwa kedua istilah tersebut sama-sama populer pada dua belahan dunia yang berbeda.[12]

Hans Kelsen memberikan dasar tentang demokrasi yang kemudian dijadikan sebagain acuan tentang demokrasi itu sendiri antara lain:
1. Pelaksana kekuasaan Negara demokrasi adalah wakil-wakil rakyat yang dipilih, di mana rakyat yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan Negara itu.
2. Cara melaksanakan kekuasaan Negara adalah senantiasa mengingat kehendak dan keinginnan rakyat, jadi tiap-tiap tindakan dalam melaksanakan kekuasaan Negara tidak bertentangan dengan kehendak dan kepentingan rakyat, bahwa sedapat mungkin berusaha untuk memenuhi kepentingan dan keinginan rakyat.
3. Angka-angka tidak menentukan seberapa banyak kekuasaan Negara yang dapat dilaksanakan melainkan berasal dari sebanyak mungkin kepentingan rakyat dan memperoleh hasil yang di inginkan oleh rakyat, asal saja tidak menyimpang dari dasar-dasar pokok demokrasi.[13]

Seseorang memiliki kebebasan politik apabila orang itu tunduk kepada kepada suatu tatanan hukum dan turut serta dalam pembentukannya. Seseorang memiliki kebebasan apabila kehendak yang dilakukan berimpitan dengan apa yang harus dilakukan. Demokrasi berarti bahwa kehendak yang dinyatakan dalam tatanan hukum Negara identic dengan kehendak para subjek tatanan hukum.[14]

Demokrasi antara lain menghendaki vrijheid en gelijkheid atau kemerdekaan dan persamaan. Demokrasi dalam arti materil mewujudkan adanya isi negara atau tata negara dari suatu negara. Demokrasi formal mewujudkan adanya bentuk negara. Revolusi prancis 1789 menghasilkan demokrasi yang bersifat politis dan yuridis.[15] Sehingga hasil dari piagam PBB kemudian disatukan dan menghasilkan lima sifat demokrasi antara lain: 
(1) Demokrasi bersifat politik; 
(2) Demokrasi bersifat yuridis; 
(3) Demokrasi bersifat ekonomis; 
(4) Demokrasi bersifat sosialistis; dan 
(5) Demokrasi bersifat kultular.

Hal yang paling mendasar yang membedakan posisi rakyat dalam negara demokrasi dan negara non demokrasi adalah dalam negara non demokrasi rakyat adalah obyek, sedang di negara demokrasi rakyat adalah subyek sekaligus obyek. Rakyat adalah subyek antara lain ketika suara atau pendapat rakyat diperlukan untuk memilih pemimpin, memilih wakil-wakilnya dalam pemilihan umum. Rakyat adalah subyek ketika suara dan pendapat rakyat diperlukan untuk secara langsung ikut memutuskan masalah kontroversial atau yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak atau yang menyangkut masa depan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Rakyat adalah obyek setelah fungsi dan kewajibannya selaku subyek telah dilaksanakan, yakni ketika pemerintahan pilihan rakyat telah terbentuk atau ketika pilihan atas masalah kontroversial yang dikembalikan kepada rakyat telah menghasilkan kesimpulan tertentu[16].

Demokrasi membuka ruang seluas-luasnya bagi rakyat untuk menyatakan pendapat dan/atau tentang pikiran, tentang segala sesuatu dalam pemerintahan yang langsung atau tidak langsung menyangkut kepentingan dirinya. Sejauh menyangkut kepentingannya, publik akan selalu menghendaki yang terbaik tersebut. maka budaya demokrasi tidak sekedar dipahami sebagai budaya kebebasan, budaya demokrasi adalah juga budaya kritik. Diskusi, perdebatan dan kritik hanya mungkin terjadi dalam iklim kebebasan. Pikiran dan gagasan baru, mudah lahir dan langsung teruji bila ada ruang publik sebagai sarana untuk menguji dan/atau memperdebatkan apapun.kritik akan selalu hadir pada hampir semua hal yang bersentuhan langsung dengan kepentingan public. Dampak budaya kritik dalam proses waktu ternyata berbuah positif, hal yang mungkin tidak diduga sebelumnya. Budaya kritik ternyata menghasilkan segala sesuatu menjadi lebih berkualitas karena yang terbaiklah yang akan mampu bertahan sekaligus yang lolos dan lulus dari ujian. Inovasi baru juga lebih mudah lahir dalam negara yang memelihara budaya kritik. Pada budaya kritik terletak kekuatan dan kualitas budaya bangsa. Budaya kritik adalah budaya intelektual[17].

Secara ilmiah harus disadari bahwa suatu masyarakat, suatu bangsa senantiasa memiliki suatu pandangan hidup masing-masing, yang berbeda dengan bangsa lain di dunia[18]. Bangsa Indonesia tidak mungkin memiliki kesamaan pandangan hidup atau filsafat hidup dengan bangsa-bangsa dari negara barat[19], khususnya dalam hal ini berkenaan dengan demokrasi. Adanya perbedaan tersebut dilatarbelakangi oleh bermacam faktor, misalnya religiusitas, kultur, dan khusus tentang lahirnya konsep demokrasi sangat dipengaruhi oleh faktor historis. Azhary di dalam bukunya menuliskan[20] :
“Hal yang sama dijumpai dalam istilah demokrasi yang mempunyai arti secara universal, akan tetapi secara materiil atau isi demokrasi suatu bangsa tidak sama dengan demokrasi pada bangsa lain. Hal itu dikarenakan perbedaan latar belakang sejarah dan pandangan hidup suatu bangsa.”

Seperti diketahui bahwa demokrasi bangsa-bangsa barat cenderung berdasarkan pada prinsip individualisme sebagai hasil pemberontakan semangat pada abad ke-18 yang dibangkitkan dengan giat oleh beberapa ahli ilmu sosial pada abad tersebut dimana yang paling ternama di antara mereka ialah J.J. Rosseau. Sebagai dasar teori individualisme disebutnya bahwa “manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka”, oleh karena itu hak-hak individu lebih diutamakan sehingga melahirkan konsep demokrasi liberal. Dalam perkembangannya konsep demokrasi liberal yang dinilai memihak kepada kaum kapitalis/borjuis, mendapat penentangan dari kaum sosialis/proletar dengan tokohnya yang terkenal Karl Marx, sehingga muncul konsep demokrasi sosialis sebagai perlawanan terhadap konsep demokrasi liberalis. Di dalam konsep demokrasi sosialis ini, negara punya kewenangan untuk membatasi hak-hak individu, bahkan tidak dikenal kebebasan beragama dalam konsep sosialis yang dalam faktanya cenderung anti-ketuhanan sehubungan berlandaskan faham komunisme. 

Meskipun pada dasarnya istilah demokrasi merupakan istilah impor[21], hasil pemikiran yang berasal dari negara-negara barat, namun bukan berarti setiap hal yang berasal dari negara barat merupakan hal yang buruk, karena sendi-sendi bernegara yang berdasarkan demokrasi merupakan sesuatu yang lebih kekal karena dibangun atas dasar kehendak rakyat, bukan dibangun atas kehebatan seorang raja atau sekelompok orang sebagaimana kerajaan-kerajaan atau bangsa-bangsa di zaman feodalisme terdahulu yang terbukti pada akhirnya menghasilkan keruntuhan bagi bangsa tersebut[22]. Oleh karena itu, Mohammad Hatta mengatakan bahwa kita boleh mengambil mana yang baik dari Barat tetapi jangan ditiru, melainkan disesuaikan, jangan di-adopteren, melainkan di-adapteren[23].

Berdasarkan uraian kedua paragraf tersebut di atas, maka Penulis mencoba mengukur demokrasi agar dapat di-adapteren sesuai dengan pandangan hidup, cita-cita luhur, filsafat hidup bangsa, sebagaimana tertuang dalam Pancasila yang juga merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Sesuai dengan pembahasan kita, maka yang dijadikan objek penilaian demokrasi disini adalah demonstrasi yang sering muncul di masyarakat kita. Sebelum fokus pada pembahasan, maka pada bagian ini akan kita uraikan terlebih dahulu perihal Pancasila pada umumnya, sila keempat Pancasila pada khususnya.

Dalam sejarahnya, Pancasila lahir sebagai hasil pemikiran founding fathers setelah melalui tahapan-tahapan penyelidikan maupun sidang-sidang perumusan kemerdekaan Republik Indonesia yang dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI). Pada sidang pertama BPUPKI yang dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, topik yang menjadi fokus pembicaraan adalah mengenai dasar negara. Untuk menjawab pertanyaan ketua sidang Dr. K.R.T Radjiman Wedyodiningrat tentang apa dasar bagi Indonesia merdeka, salah seorang anggota BPUPKI, Soekarno mengemukakan serta menjelaskan dasar negara Indonesia yang terdiri dari lima sila yaitu : 1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme, -atau peri-kemanusiaan; 3. Mufakat, -atau demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; dan 5. Ketuhanan yang berkebudayaan. dalam kesempatan itu pula Soekarno memperkenalkan lima dasar negara bagi Indonesia merdeka dengan istilah Pancasila, sehingga pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila[24]. Adapun terjadinya perubahan-perubahan bunyi sila-sila di dalam Pancasila dilakukan dalam pembicaraan-pembicaraan selanjutnya oleh PPKI ketika merumuskan rancangan pembukaan undang-undang dasar seperti yang kita ketahui berasal dari piagam Jakarta yang kemudian setelah dilakukan beberapa perubahan akhirnya diterima sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945[25] yang di dalamnya memuat tentang dasar negara sehingga bunyi sila-sila di dalam Pancasila berbunyi sebagaimana kita ketahui saat  ini, yakni :  
1.  Ketuhanan Yang Maha Esa;
2.  Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3.  Persatuan Indonesia;
4.  Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;
5.  Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan dan bobot yang berbeda, namun nilai-nilai itu tidak saling bertentangan. Akan tetapi nilai-nilai itu saling melengkapi. Hal ini disebabkan sebagai suatu substansi, Pancasila itu merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, atau kesatuan organik (organic whole). Nilai-nilai itu saling berhubungan erat dan nilai-nilai yang satu tidak dapat dipisahkan dari nilai yang lain. Atau nilai-nilai yang ada itu, dimiliki bangsa Indonesia, yang akan memberikan pola (patroon) bagi sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia. Dari uraian mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam sila Pancasila itu pula, sila Ketuhanan YME menduduki tingkatan dan bobot nilai tertinggi, karena secara jelas mengandung nilai religius yang menjiwai sila-sila pada tingkatan di bawahnya yakni keempat nilai manusiawi dasar[26].

Jika diperhatikan dengan benar-benar, Pancasila itu terdiri dari fondamen. Pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, fondamen politik, yaitu peri-kemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi dan keadilan sosial. Dengan meletakkan dasar moral di atas diharapkan oleh mereka yang memperbuat pedoman negara ini, supaya negara memperoleh dasar yang kokoh, berlangsung sesuai dengan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran serta persaudaraan. Dasar Ketuhanan YME jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan Indonesia untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat, sedangkan dasar peri-kemanusiaan adalah kelanjutan dengan perbuatan daripada dasar yang memimpin tadi di dalam praktik hidup. Dasar persatuan Indonesia menegaskan sifat negara Indonesia sebagai negara nasional yang satu tidak terbagi-bagi berdasarkan ideologi sendiri. Dasar kerakyatan menciptakan pemerintahan yang adil dan mencerminkan kemauan rakyat yang dilakukan dengan rasa tanggung jawab agar terlaksana keadilan sosial. Dasar keadilan sosial ini adalah pedoman dan tujuan kedua-duanya[27].

Berdasarkan sila keempat ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’ maka negara Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 adalah negara yang berdasarkan kepada asas kerakyatan. Inti pokok dari sila keempat adalah terletak pada kata ‘kerakyatan’, karena pada hakikatnya pendukung pokok negara adalah rakyat yang merupakan salah satu pokok unsur negara, dimana rakyat adalah kumpulan dari manusia-manusia, oleh karena itu dasar pokok dalam setiap negara berdasarkan pada konsep dasar tentang manusia, yang berarti kesesuaian hakikat keadaan sifat negara dengan hakikat rakyat maka tidak bisa dipisahkan dengan hakikat manusia yaitu kodrat manusia yang terkandung dalam sila kedua Pancasila. Kemudian sila Persatuan Indonesia yang sesuai dengan rumusan persatuan dan kesatuan sila-sila Pancasila, serta unsur hikmat kebijaksanaan yang merupakan dasar kerohanian yang dipertanggungjawabkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana sila pertama. Ketiga sila yang mendahuluinya menjiwai dan mendasari sila Karakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dalam rangka mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia[28].

Makna sila keempat Pancasila itu sendiri yang menyiratkan adanya sistem demokrasi, kalau diperinci lebih dalam dan lebih luas lagi, maka unsur-unsur demokrasi : kerakyatan, permusyawaratan dan kedaulatan rakyat, menurut Kaelan diformulasikan sebagai berikut[29] :
1. Arti yang terkandung dalam pengertian “kerakyatan” adalah bersifat cita-cita kefilsafatan, yaitu bahwa negara adalah untuk keperluan rakyat. Oleh karena itu maka sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan kepentingan seluruh rakyat. Jadi “kerakyatan” pada hakekatnya lebih luas pengertiannya dibanding dengan    pengertian demokrasi, terutama demokrasi politik.
2. Pengertian demokrasi pada hakekatnya terikat dengan kata-kata permusyawaratan/perwakilan. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam sila keempat Pancasila. Hal ini merupakan suatu cita-cita kefilsafatan demokrasi. Terutama dalam kaitannya dengan demokrasi politik, karena cita-cita kefilsafatan demokrasi politik ini, merupakan syarat mutlak bagi tercapainya maksud kerakyatan.
3. Dalam pengertian “kerakyatan” terkandung pula cita-cita kefilsafatan demokrasi sosial-ekonomi. Demokrasi sosial-ekonomi adalah untuk pelaksanaan persamaan dalam lapangan kemasyarakatan (social) dan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraaan bersama dengan sebaik-baiknya. Adapun untuk mencapai kesejahteraan sosial-ekonomi tersebut harus dengan syarat demokrasi politik.
4. Dengan demikian maka dalam sila keempat senantiasa terkandung dasar bagi cita-cita kefilsafatan yang terkandung dalam sila ke lima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.

Kaelan menerangkan bahwa berdasarkan hakikat sila keempat Pancasila, demokrasi di Indonesia tidaklah sama dengan demokrasi sebagaimana negara-negara barat yang lebih cenderung pada aspek individualis atau sosialis, karena dalam konsep demokrasi liberalis atau demokrasi sosialis, negara lebih menitikberatkan pada salah satu sifat dan kodrat manusia, namun hanya bersifat berat sebelah sehingga tidak bersifat lengkap[30], jika dalam negara individualis lebih menitikberatkan pada kepentingan individu sehingga memarjinalkan kepentingan sosial, sedangkan negara sosialis lebih menitikberatkan pada kepentingan sosial sehingga memarjinalkan kepentingan individu.

Bersumber pada sifat kodrat manusia yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, sehingga negara Indonesia pada waktu diproklamasikan, sekarang dan untuk masa yang akan datang tetap merupakan negara demokrasi ‘monodualis’[31], yaitu demokrasi yang terdiri atas perseorangan yang secara bersama-sama kebahagiaan baik perseorangan maupun kepentingan bersama. Makna demokrasi monodualis yang dimaksudkan bukan demokrasi perseorangan (liberal), demikian pula bukan merupakan suatu bentuk demikian golongan rakyat, meskipun berapa besar dan pentingnya golongan itu, jadi negara Indonesia juga bukan demokrasi klass, dan sangat jauh dari konsep demokrasi sosialis dengan ciri komunismenya[32].

Negara monodualis senantiasa menjaga keseimbangan antara kedua sifat kodrat manusia, maka konsekuensinya juga harus merealisasikan kebahagiaan baik individu maupun warga masyarakat secara keseluruhan, sehingga dalam negara monodualis dikenal istilah “satu buat satu dan buat semua, semua buat satu dan buat semua”. Terlebih lagi sifat dan hakikat negara monodualis ini juga dijelaskan dalam penjelasan resmi tentang sila keempat, pada waktu perumusan Pancasila dasar filsafat negara Indonesia yaitu sebagai berikut[33] :
“negara bukan negara untuk satu orang, bukan negara satu golongan, walaupun golongan kaya…. Tetapi negara, semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu,…. Bahwa negara didasarkan atas rakyat, tidak pada golongan, tidak pada perseorangan, berdasarkan atas kekuasaan yang ada pada tangan rakyat (kedaulatan rakyat)…., bahwa kepentingan serta kebahagiaan seluruh rakyat dijamin” (Notonagoro, 1975:126,127) 

Atas dasar pengertian inilah maka negara Indonesia adalah demokrasi yang bersifat kekeluargaan, yang sebenarnya merupakan demokrasi asli Indonesia. Hal ini sejak awal mula dirumuskannya Pancasila dan dasar negara Indonesia pada tanggal 15 Juni 1945. Dalam proses pembicaraan tersebut telah dinyatakan oleh ketua panitia Hukum Dasar, yaitu panitia merencanakan Pembukaan UUD 1945, bahwa semua anggota BPUPKI telah menyetujui dasar ‘kekeluargaan’ atau ‘gotong royong’ atau dasar ‘keadilan sosial’ (Notonagoro, 1975:128)[34]. Oleh karena itu, negara Indonesia juga disebut negara demokrasi kekeluargaan, negara demokrasi gotong royong, negara demokrasi tolong-menolong, negara demokrasi keadilan sosial, yang disebut juga negara demokrasi ‘monodualis’. Demokrasi yang terkandung dalam Pancasila adalah demokrasi perseorangan bersama, berasas kekeluargaan yang berkeadilan sosial, demokrasi rakyat perseorangan maupun rakyat bersama (Notonagoro, 1975:27, 28)[35].

Selain tentang kerakyatan, makna terpenting lainnya dari sila keempat Pancasila yakni unsur hikmat kebijaksanaan dan unsur permusyawaratan/ perwakilan. Oleh karena itu mari Penulis memaparkan penjelasan sebagai berikut:


Hikmat kebijaksanaan; Kata ‘hikmat’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti[36]: 

(1) kebijakan, kearifan; 
(2) kesaktian (kekuatan gaib); 

sedangkan ‘kebijaksanaan’ berarti : 
(1) kepandaian menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); 
(2) kecakapan bertindak apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya. 

Dengan demikian menurut Penulis bahwa hikmat kebijaksanaan diartikan sebagai cara mengambil keputusan/tindakan berdasarkan kearifan maupun kepandaian menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuan) atau kecakapan mengambil tindakan/kebijakan dalam menghadapi permasalahan berdasarkan pertimbangan akal sehat yang dijiwai oleh nilai-nilai ketuhanan YME, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan keadilan sosial. Singkatnya Penulis berpandangan bahwa setiap keputusan atau tindakan yang diambil dalam berdemokrasi haruslah dilakukan dengan cara-cara yang elok dan cerdas, baik itu kecerdasan intelektual, emosional maupun spiritual. Intelektual misalnya mencakup keilmuan, profesionalisme, rasio, pertimbangan baik dan buruk, manfaat dan mudharat, dsb. Emosional misalnya sikap sopan, santun, toleran, empati, peka/mampu menangkap nilai-nilai yang hidup di masyarakat, kematangan emosi, kedewasaan bersikap, dsb. Spiritual misalnya keikhlasan, jujur, amanah, berakhlak mulia sesuai tuntunan agama, dsb. Berdasarkan nilai hikmat kebijaksanaan, maka tidak dibenarkan adanya pemaksaan kehendak dalam berdemokrasi.

Permusyawaratan/perwakilan; ‘permusyawaratan’ adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan dan/atau memutuskan suatu hal berdasarkan musyawarah mufakat. Permusyawaratan muncul sebagai nilai demokrasi yang diambil dari nilai-nilai kerakyatan yang ada di desa-desa nusantara, karena sejatinya istilah demokrasi merupakan produk impor dari barat, tidak ditemukan istilah demokrasi di dalam catatan sejarah Indonesia,  jadi sesungguhnya yang ada adalah desa-demokrasi, tidak ada Indonesia-demokrasi, adapun nilai-nilai kerakyatan di desa itu terdiri dari tiga unsur[37] :
(1) cita-cita rapat yang hidup dalam sanubari rakyat Indonesia sejak zaman dahulu sampai sekarang 
(2) cita-cita massa protes, yaitu hak rakyat untuk membantah dengan cara umum segala keputusan penguasa negara yang dinilai tidak adil, inilah yang menjadi dasar pemikiran kemerdekaan bergerak dan berkumpul bagi rakyat yang masih relevan diterapkan hingga saat ini, namun dulu cita-cita protes ini tidak sering dilakukan sehubungan sifat masyarakat Indonesia yang sabar dan penurut, kalaupun sampai dilakukan yakni dengan cara beramai-ramai datang ke alun-alun dan duduk disitu berapa lama dengan tiada berbuat apa-apa, pada keseluruhannya merupakan tindakan yang dilakukan secara damai, namun hal itu menjadi bahan pertimbangan penguasa, apakah ia mencabut kembali atau mengubah perintahnya; dan 
(3) cita-cita tolong-menolong atau kegotong-royongan. 

Kemudian perihal kata ‘perwakilan’ yakni suatu sistem tata cara (prosedur) mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara, antara lain dilakukan dengan melalui badan-badan perwakilan yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Perwakilan muncul sebagai alternatif sehubungan dalam konsep negara yang besar seperti Indonesia tidak mungkin keputusan diambil dengan cara musyawarah mufakat secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia, melainkan dengan melalui badan-badan perwakilan rakyat. Berdasarkan poin ini, penulis menemukan pendapat mengapa ada tanda garis miring dalam kata permusyawaratan/perwakilan, yakni bentuk alternatif dengan ketentuan bahwa dalam lingkup kehidupan masyarakat yang lebih kecil pengambilan keputusan dapat dilakukan menurut pola permusyawaratan langsung, sedangkan dalam konteks kehidupan masyarakat yang sudah lebih luas maka pengambilan keputusan dilakukan melalui perwakilan[38] yang ditunjuk berdasarkan suatu pemilihan umum, jadi perwakilannya yang bermusyawarah bukan masyarakat secara keseluruhan, maka pemerintahan negeri diatur dengan cara perwakilan melalui perantaraan rapat-rapat dan sekesil-kecilnya di desa sampai pada yang sebesar-besarnya yaitu melalui badan-badan perwakilan rakyat. Demikianlah susunan demokrasi Indonesia menurut “kedaulatan rakyat”[39].

Dalam sila kerakyatan terkandung nilai demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam hidup negara. Maka nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam sila keempat adalah :
1. Kerakyatan berarti kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat, berarti Indonesia menganut demokrasi.
2. Hikmat kebijaksanaan berarti penggunaan pikiran yang sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur, dan bertanggung jawab, serta didorong oleh itikad baik sesuai dengan hati nurani.
3. Permusyawaratan berarti bahwa dalam merumuskan atau memutuskan suatu hal, berdasarkan kehendak rakyat, dan melalui musyawarah untuk mufakat.
4. Perwakilan berarti suatu tata cara mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara, antara lain dilakukan melalui badan perwakilan rakyat.

Berdasarkan hal tersebut, akan memberikan kesempatan kepada rakyat selaku warga negara untuk melakukan hak dan kewajiban politiknya dalam bernegara. Demokrasi akan memberikan kesempatan kesempatan untuk, pertama, partisipasi yang efektif; kedua, persamaan dalam memberikan suara; ketiga, mendapatkan pemahama yang jernih; keempat, melaksanakan pengawasan akhir terhadap agenda; kelima, pencakupan orang dewasa.[40]

Untuk melengkapi pembahasan tentang kerakyatan, maka perlu disampaikan juga pembahasan tentang kedaulatan atas dasar permusyawaratan, bahwa kedaulatan rakyat adalah kekuasaan yang dijalankan oleh rakyat atau atas nama rakyat di atas dasar permusyawaratan[41].  Permusyawaratan itu boleh langsung diadakan oleh semua orang yang dewasa pada satu daerah yang kecil, atau dengan jalan perwakilan, dengan jalan yang tidak langsung manakala melingkupi area yang lebih luas. Pemerintahan yang berdasar kedaulatan rakyat hakikatnya lebih teguh, karena ia dijunjung oleh tanggung jawab bersama, oleh karena itu dalam kedaulatan rakyat maka rakyat harus mempunyai keinsyafan politik[42]. Kalau rakyat tidak mempunyai keinsyafan politik, rasa tanggung jawab sangat kurang padanya. Rakyat yang semacam itu mudah sekali mengutus ke dalam DPR anggota yang sebenarnya bukan wakilnya.[43]

Rakyat yang tidak mempunyai keinsyafan politik mudah tertipu dengan semboyan kosong. Sebaliknya juga cepat marah, apabila menurut perasaannya orang yang dipilihnya menjadi anggota DPR tidak melakukan kemuan rakyat. Rakyat semacam itu sering gelisah dalam sikapnya, mudah bolak-balik, tertarik kesana dan kesini[44]. 

Kedaulatan rakyat adalah pemerintahan rakyat yang dijalankan menurut peraturan yang telah dimufakati dengan bermusyawarah. Apabila ia dilakukan oleh rakyat dengan tiada menurut peraturannya, menurut sesuka-sukanya, sehingga tiap-tiap golongan rakyat bertindak semaunya saja, maka pemerintahan rakyat itu menjadi anarki. Kedaulatan rakyat yang meluap dari batasnya akan menjadi anarki, anarki artinya tidak punya aturan, jadinya bukan pemerintahan lagi[45].

Kedaulatan rakyat dengan tidak ada keinsyafan politik pada rakyat akan melulu menjadi anarki[46]. Oleh sebab itu, merupakan kewajiban kita semuanya, kewajiban pemangku negara dan partai politik untuk memberi pendidikan politik kepada rakyat dengan menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat dengan segala daya dan upaya, terlebih kepada kader-kader parpol. Dengan demikian diharapkan masyarakat Indonesia memiliki keinsyafan politik yang berlandaskan pada Pancasila sehingga tercapai demokrasi yang sesuai dengan jiwa dan karakter bangsa, bukan demokrasi yang diadopsi dari negara-negara barat.

Demokrasi dalam Konteks Demonstrasi di Indonesia

Dalam sebuah negara demokrasi, paham kerakyatan (demokrasi/kedaulatan rakyat) tidak dapat dipisahkan dari paham negara hukum. Sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat.[47] Atas dasar demokratis, Rechtstaat dikatakan sebagai negara kepercayaan timbal balik (de staat van het wederzijds vertrouwen), yaitu kepercayaan dari rakyat pendukungnya bahwa kekuasaan yang diberikan tidak akan disalahgunakan dan kepercayaan dari penguasa bahwa dalam batas kekuasaan dia mengharap kepatuhan dari rakyat pendukungnya.[48]

Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna[49]. Demokrasi substansinya adalah pluralitas. Dalam konteks negara hukum, maka negara harus menjamin kebebasan menyatakan pendapat. Negara tidak boleh mengahalangi (antara lain melalui aneka macam kebijakan/restriksi) tumbuh dan berkembangnya aneka macam aspirasi di masyarakat sepanjang ia tidak mengganggu, mengintimidasi, memaksakan kehendak, apalagi merusak[50].

 Kebebasan menyatakan pendapat tersebut diatur dalam perubahan keempat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28, dan Pasal 28 E ayat (3). Kebebasan berekspresi termasuk kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara.[51] Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka umum pasal 1 ayat (1) kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[52]

Konkritnya bentuk-bentuk dan tata cara penyampaian pendapat di muka umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sebagaimana dalam pasal 9 ; Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan:
a.       Unjuk rasa atau demontrasi;
b.      Pawai;
c.       Rapat umum; dan atau
d.      Mimbar bebas
Demonstrasi yang dikenal saat ini adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara massal atau dengan kata lain adalah unjuk rasa.[53] Adanya demonstrasi tidak lain merupakan wujud negara yang berkedaulatan rakyat. Demonstrasi sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Berdasarkan hal tersebut, dengan diaturnya demonstrasi dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait, maka dapat diartikan bahwa demonstrasi merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan dalam menyampaikan pendapat rakyat yang dilindungi oleh hukum. Keberadaan demonstrasi sering dimanfaatkan oleh rakyat untuk menyampaikan pendapatnya kepada penguasa dalam proses bernegara.

Lebih lanjut dari adanya uraian tersebut, maka hal yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana keberadaan tentang konsep demonstrasi juga dapat ditinjau secara filosofis? Keberadaan demonstrasi dalam konteks Negara Hukum yang Demokratis perlu dipertanyakan. Hal ini tidak lain karena, dalam konsep negara demokratis atau negara yang berlangsung atas persetujuan rakyat ini, ada banyak tata cara dalam menyampaikan atau memberi pemikiran kepada penguasa untuk menjalankan sebuah pemerintahan dalam negara.

Tolak ukur untuk meninjau permasalahan demonstrasi ini secara filosofis adalah melalui Pancasila sebagai ideologi negara. Pancasila sendiri merupakan norma hukum yang tertinggi dan merupakan kelompok norma pertama dalam norma hukum negara. Pancasila sendiri dapat diistilahkan sebagai ‘Staatsfundamentalnorm’. Istilah Staatsfundamentalnorm sendiri disebut oleh Hamid S. Attamimi sebagai Norma Fundamental Negara.[54] Norma Fundamental Negara yang merupakan norma tertinggi dalam suatu negara ini merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat ‘pre-supposed’ atau ‘ditetapkan terlebih dahulu’ oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya. Norma yang tertinggi ini tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, oleh karena jika norma yang tertinggi itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi maka ia bukan merupakan norma tertinggi.[55] Dalam hal ini, Penulis meninjau keberadaan demonstrasi dari Pancasila, Sila Keempat. Pancasila pada Sila Keempat, berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.

Frasa “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” apabila diartikan secara gramatikal[56] dan dihubungkan dengan konsep demonstrasi, maka penyampaian pendapat melalui demonstrasi harus dikaji ulang. Hal ini karena frasa pada Sila Keempat Pancasila tidaklah relevan dengan cara mengemukakan pendapat secara langsung di muka umum. Sistem yang diinginkan oleh Sila Keempat menurut Penulis adalah dengan cara bermusyawarah bukan dengan berdemonstrasi. Hal ini memunculkan masalah yakni siapa yang melaksanakan musyawarah, oleh karena itu berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dalam konteks masyarakat yang kecil bermusyawarah dapat dilakukan secara langsung, namun dalam konteks yang lebih luas jika masyarakat ingin menyampaikan keinginannya maka yang melakukan musyawarah adalah melalui wakilnya, tidak lagi oleh masyarakat secara langsung. Dalam konsep yang demikian, sistem demonstrasi yang selama ini identik dengan anarkisme dapat dihindari dengan cara bermusyawarah melalui perwakilan rakyat (DPR). Sistem ini menginginkan sebuah Public Hearing dalam menentukan arah bernegara ke depannya, sehingga dapat menghindarkan dari aksi-aksi anarkis yang biasanya akan diiringi oleh pendekatan represif oleh penguasa. Dalam konsep yang demikian, maka wakil rakyat dengan hasil musyawarat mufakat yang dibawa setelah adanya komunikasi dengan masyarakat dapat merumuskan bersama dengan pemerintah sebuah regulasi, kebijakan, keputusan, dan/atau tindakan terhadap suatu permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pendapat Penulis yang demikian merupakan konsep yang ideal, yakni apabila masyarakat Indonesia sudah memiliki keinsyafan politik yang baik sebagaimana telah kita singgung di atas, namun dengan melihat fakta bahwa keinsyafan politik yang dimaksud masih jauh dari harapan, maka arti kebebasan untuk menyatakan pendapat di muka umum berupa demonstrasi bukanlah suatu hal yang bertentangan dengan Pancasila sepanjang dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, selain itu dengan melihat konsep desa-demokrasi yang merupakan dasar-dasar demokrasi asli kita seperti dipaparkan sebelumnya, terdapat cita-cita massa protes sebagaimana telah disampaikan pada pembahasan poin B di atas.

Aksi demonstrasi atau penyampainan pendapat dimuka umum muncul karena ketidakpercayaan rakyat kepada wakil-wakilnya yang duduk di parlemen untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi rakyat secara umum. Dengan kata lain demonstrasi merupakan suatu yang legal untuk dilakukan oleh berbagai elemen mayarakat.

Demonstrasi merupakan bentuk ekspresi yang produktif dari sekelompok orang yang berisikan tuntutan atas keadaan, kenyataan, luapan kesadaran dan bahkan merupakan bentuk pendidikan kritis kebangsaan. Tujuannya adalah untuk menentang atau memprotes suatu kebijakan yang dikeluarkan atau bahkan rencana kebijakan yang di anggap tidak mendukung kepentingan umum/rakyat dengan cara – cara konstitusional. Diharapkan melalui aksi aksi demonstrasi ini para pemimpin negeri dapat mendengar apa yang menjadi tuntutan rakyat dan mempertimbangkan secara seksama agar kebijakan yang akan diambil memang benar untuk kepentingan rakyat.

Pada dasarnya apa yang diputuskan oleh lembaga perwakilan belum tentu diterima oleh masyarakat. Disinilah kesenjangan akan muncul antara wakil yang duduk dalam lembaga perwakilam dengan rakyat yang diwakilinya. Apakah wakil itu mengambil keputusan atas dasar pertimbangan nuraninya sendiri, atau mengambil keputusan atas dasar petunjuk garis induk partainya.

Meskipun telah ada berbagai teori dalam melihat hubungan antara si wakil dengan yang diwakili tersebut, demokrasi perwakilan tetap bermasalah. Dalam demokrasi perwakilan akan memandang dan mengasumsikan rakyat sebagai orang yang tidak perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan publik. Rakyat lebih baik apatis dan bijaksana untuk tidak menciptakan tindakan – tindakan yang merusak budaya, masyarakat, dan kebabsan.

Selain itu tatacara menyampaikan pendapat dimuka umum atau lebih kita kenal dengan demonstrasi tentu telah di akomodir oleh Pancasila sebagai Ideologi bangsa. Menjunjung tinggi asas musyawarah mencapai mufakat sebagai moral kemanusiaan, mengutamakan prinsip prinsip keadilan beradab agar tercapainya tujuan bersama.

Lebih lanjut, penafsiran Pancasila sebenarnya tidak boleh melepaskan salah satu silanya, maka apabila dihubungkan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut harus dipahami satu persatu dan dilihat dengan korelasinya terhadap jalannya demonstrasi yang ada di Indonesia sampai saat ini. Demonstrasi seharusnya mengakomodasi kelima sila tersebut. Keberadaan demonstrasi yang sering berujung dengan anarkisme harus menjadi sorotan, karena pada dasarnya setiap tindakan yang menghasilkan anarkisme maka dapat disimpulkan tidaklah sejalan dengan konsep Pancasila sebagai filosofi bangsa Indonesia.

Sebagai penutup pada bagian ini, maka Penulis mencoba menganalisis demonstrasi yang diperagakan saat ini dengan nilai demonstrasi yang diambil dari konsep desa-demokrasi seperti telah disinggung di atas, khususnya pada aspek cita-cita massa protes, sebagai berikut :
Pertama, cita-cita massa protes dilakukan di alun-alun, mengandung nilai bahwa protes yang dilakukan tidak sampai mengganggu kepentingan umum, karena dilakukan di sebuah alun-alun yang biasanya alun-alun itu pastilah berupa lapangan atau setidaknya area yang terkondisikan sebagai tempat berkumpulnya orang banyak, bukan turun ke jalan-jalan atau ke tempat-tempat umum sehingga mengganggu kepentingan masyarakat yang lebih luas. Kedua, dilakukan secara damai dengan tidak berbuat apa-apa hanya duduk berlama-lama secara berbondong-bondong, mengandung nilai bahwa protes dilakukan secara konstruktif dan dalam suasana kekeluargaan. Ketiga, dilakukan sebagai pertimbangan bagi penguasa, apakah mencabut atau mengubah keputusannya, mengandung nilai bahwa masyarakat menyadari pemimpinlah yang berkompeten, yang diserahi kewenangan menurut undang-undang untuk mengambil keputusan, atau dengan kata lain budaya hormat kepada pemimpin, bahwa keputusan tidak dapat dilakukan serta merta, tidak juga dapat dipaksakan, ada mekanisme dan prosedur yang harus dilalui oleh penguasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Memang harus disadari, kondisi dahulu dengan kondisi saat ini berbeda, konteks desa dengan konteks perkotaan berbeda, konteks dahulu dan konteks sekarang memang berbeda, namun Penulis bukan memandang harus melakukannya sama persis, tetapi nilai-nilai yang hadir dalam demokrasi asli milik Indonesia harus tetap dijaga, dimana berdemonstrasi tanpa mengganggu kepentingan umum atau kepentingan masyarakat lainnya (makna dilakukan di alun-alun), dilakukan secara damai dan konstruktif, tanpa ada pemaksaan kehendak apalagi perbuatan-perbuatan yang mengintimidasi pihak lainnya, dengan kata lain setidaknya cita-cita massa protes itu tidak mendatangkan kemudharatan bagi siapapun, baik secara vertikal/dengan penguasa maupun horisontal/dengan sesama warga masyarakat (makna dilakukan secara damai dengan duduk-duduk secara berbondong-bondong tanpa berbuat apa-apa), dan yang terakhir bahwa dalam berdemonstrasi tetap menjaga budaya hormat kepada pemimpin, jangan sampai menghina atau menghujat dengan perkataan-perkataan yang tidak pantas, hal ini dapat juga diartikan sebagai sikap hormat terhadap sendi-sendi negara hukum (makna dilakukan sebagai pertimbangan bagi penguasa, apakah mencabut atau mengubah keputusannya).

Dengan melihat fenomena demonstrasi yang diperagakan masyarakat Indonesia yang cenderung turun-turun ke jalan sehingga mengganggu kepentingan umum atau kepentingan masyarakat lainnya, dilakukan dengan cara-cara destruktif seperti berteriak-teriak, menghujat, menghina, merusak fasilitas umum, membakar ban, bahkan membakar kendaraan atau bangunan, serta sering terjadinya bentrok antara pendemo dengan aparat, maka demonstrasi yang demikian sudah sangat jauh dari wujud demokrasi dalam pandangan hidup bangsa Indonesia. Demonstrasi yang Pancasilais dilaksanakan menurut prinsip kekeluargaan yang megedepankan sistem musyawarah mufakat baik secara langsung maupun melalui perwakilan, serta dilakukan dengan cara-cara yang berakhlak dan beradab dengan menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada akhirnya, Penulis berpendapat bahwa Pancasila seharusnya menjadi adapter terhadap konsep Demokrasi yang kita ketahui merupakan produk impor dari negara-negara barat. Boleh kita mengimpor demokrasi namun bukan menirunya melainkan mengadaptasinya, begitu juga dengan demonstrasinya, kalaupun harus dilakukan sebaiknya dilaksanakan menurut nilai-nilai original masyarakat kita, agar lebih mendatangkan manfaat daripada mudharat. Oleh karena itu, di dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia kita harus selalu berlandaskan Pancasila sebagai suatu sistem nilai, adalah keliru jika kita memandang sila keempat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, dengan kata lain cara pandang yang demikian dapat mengakibatkan demokrasi kita keluar dari rel Pancasila, jangan sampai makna kerakyatan diartikan menurut konsep barat, jangan sampai makna hikmat kebijaksanaan ditafsirkan menurut hawa nafsu atau bahkan dilupakan, jangan sampai cara-cara kita melaksanakan permusyawaratan/perwakilan berdasarkan kekerasan, sesuatu yang seharusnya dihindari karena tidak sesuai dengan sila keempat Pancasila yang mengedepankan musyawarah mufakat dalam semangat kekeluargaan yang penuh hikmat kebijaksanaan. 

Berdasarkan penjabaran atas permasalahan mengenai bentuk demokrasi yang berlandaskan kepada nilai-nilai Pancasila, maka kami dalam hal ini memberikan sebuah saran-saran diantaranya:
1. Bahwasanya dewasa ini mengembalikan eksistensi nilai-nilai demokrasi yang berlandaskan Pancasila sebagai ideologi sebuah bangsa perlu lebih ditekan, sehingga didalam proses demokrasi tersebut tentu mengeluarkan output yang nantinya berguna bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Di dalam mekanisme proses demokrasi tersebut, haruslah terdapat hubungan yang sinergis baik dari masyarakat dengan segala tuntutannya, serta pemerintah dalam hal ini sebagai pihak yang menjalankan fungsi pemerintahan, sehingga hubungan antara masyarakat dengan pemerintah dalam hal ini berjalan sesuai dengan kerangka/dasar dari sebuah wujud bentuk pemerintahan yang baik.
3. Di dalam mengembalikan nilai-nilai Pancasila sendiri, haruslah dimulai dari watak pemimpin yang benar-benar didalam benaknya, hatinya mencerminkan nilai-nilai dari Pancasila itu sendiri, sehingga didalam proses mengembalikan nilai-nilai pancasila akan terwujud dalam realitas hidup ini, dan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara akan menjadi sungguh-sungguh menjadi Lebensgestaltung­, menjadi bentuk hidup konkret Bangsa Indonesia, termasuk pula didalam kehidupan Hukum

Ditulis oleh: Dania Syafaat, S.H.
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum UGM


Baca tulisan Dania lainnya disini


DAFTAR PUSTAKA

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

-  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen)
-  Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka umum

BUKU-BUKU

-  Al Khanif (ed), 2016, Pancasila Sebagai Realitas Percik Pemikiran Tentang Pancasila dan Isu-Isu Kontenporer di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
-  Yudi Latif, 2011,  Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
- Hendarmin Ranadireksa,2015, Visi Bernegara-Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung
-  C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, 2008,  Hukum Tata Negara Republik Indonesia Jakarta: PT Rineka Cipta
- Jimmly Asshiddiqie,1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya di Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta
-    Abdy Yuhana, 2013, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Fokusmedia, Bandung
-  Hans Kelsen,  2015, Teori Umum Tentang Negara dan Hukum, Nusa Media, Bandung
-  Kaelan, 2002, Filsafat Pancasila- Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Paradigma, Yogyakarta
-   Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, UI Press, Jakarta
-   Miriam Budiardjo, 1982, Masalah Kenegaraan, Gramedia, Jakarta
-  Mohammad Hatta (Editor: Kholid O. Santosa), 2014, Demokrasi Kita-Pikiran-pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, Sega Arsy, Bandung\
-  Anwar C, 2015, Teori dan Hukum Konstitusi, Setara Press, Malang
-  Sri Soemantri, 2016, Konstitusi Indonesia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung
-  Saifudin, Partisipasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, FH UII Pers, 2009, Yogyakarta
-   Ni’matul Huda,2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta
-   Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta
- Maria Farida Indrati S., 2007, Ilmu Perundang-undangan I, Penerbit Kanisius, Yogyakarta


INTERNET

Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI)-Online, http ://kbbi.web.id, tanggal akses : 1 Desember 2016

[1] Al Khanif (ed), 2016, Pancasila Sebagai Realitas Percik Pemikiran Tentang Pancasila dan Isu-Isu Kontenporer di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.340
[2] Yudi Latif, 2011,  Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hlm.410
[3] Ibid Hlm.487
[4] Ibid.
[5] Hendarmin Ranadireksa,2015, Visi Bernegara-Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, hlm.1 
[6] Ibid, hlm. 9
[7] Ibid, hlm. 5
[8] Ibid, hlm. 6
[9]C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, 2008,  Hukum Tata Negara Republik Indonesia Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 90.
[10] Jimmly Asshiddiqie,1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya di Indonesia, Ichtiar Baru, jakarta, hlm.11
[11]C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Op. Cit., hlm. 91.
[12] Abdy Yuhana, 2013, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Fokusmedia, Bandung, hlm.34
[13] C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Loc. Cit.
[14]Hans Kelsen,  2015, Teori Umum Tentang Negara dan Hukum, Nusa Media, Bandung, hlm. 402.
[15]C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Op. Cit., hlm. 93.
[16] Hendarmin Ranadireksa, Op. Cit., hlm. 67
[17] Ibid, hlm. 101
[18] Kaelan, 2002, Filsafat Pancasila- Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Paradigma, Yogyakarta, hlm. 1
[19] Ibid
[20] Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, UI Press, Jakarta, hlm. 34
[21] Miriam Budiardjo, 1982, Masalah Kenegaraan, Gramedia, Jakarta, hlm. 50
[22] Mohammad Hatta (Editor: Kholid O. Santosa), 2014, Demokrasi Kita-Pikiran-pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, Sega Arsy, Bandung, hlm. 55-56
[23] Ibid, hlm. 39
[24] Anwar C, 2015, Teori dan Hukum Konstitusi, Setara Press, Malang, hlm. 81
[25] Sri Soemantri, 2016, Konstitusi Indonesia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 38
[26] Kaelan, Op. Cit., hlm. 129
[27] Mohammad Hatta,  Op. Cit., hlm. 109
[28] Kaelan, Op. Cit., hlm. 210
[29] Ibid, hlm. 207
[30] Ibid, hlm. 212
[31] Ibid, hlm. 201
[32] Ibid, hlm. 202
[33] Ibid, hlm. 213
[34] Ibid, hlm. 215
[35] Ibid
[36] Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI)-Online, http ://kbbi.web.id, tanggal akses : 1 Desember 2016
[37] Miriam Budiardjo, Op. Cit., hlm. 49
[38] Mohammad hatta, Op. Cit., hlm. 51
[39] Ibid, hlm. 43
[40] Saifudin, Partisipasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, FH UII Pers, 2009, Yogyakarta, hlm. 15
[41] Mohammad Hatta, Op. Cit., hlm. 51
[42] Ibid, hlm. 82
[43] Ibid
[44] Ibid
[45] Ibid, hlm. 57
[46] Ibid, hlm. 86
[47] Ni’matul Huda,2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 250
[48] Ibid., hlm. 250
[49] Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 8
[50] Hendarmin Ranadireksa, Op. Cit., hlm. 213
[51] Undang Undang dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945
[52] Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka umum.
[53] Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, Demonstrasi, Lihat <http://kbbi.web.id/demonstrasi>, diakses pada Pukul 15.10 WIB, 26 November 2016
[54] Maria Farida Indrati S., 2007, Ilmu Perundang-undangan I, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm.46
[55] Ibid
[56] Gramatikal adalah sesuai dengan tata bahasa; menurut tata bahasa, dalam KBBI Online, Gramatikal, Lihat <http://kbbi.web.id/gramatikal>, diakses pada Pukul 17.32 WIB, 26 November 2016

Posting Komentar untuk "MENILAI DEMOKRASI DI INDONESIA DALAM KONTEKS DEMONSTRASI"