Islam, Ajaran Kebiasaan
Buahpeer.com
- Sudah tak diragukan lagi bahwa ajaran Islam syarat akan ajaran kebaikan.
Bahkan, Islam tak hanya mengajari untuk berbuat baik saja, tetapi juga
mengajari untuk senantiasa berbuat baik. Artinya, kebaikan yang telah
dituntunkan, harus menjadi sebuah kebiasaan. Tidak dikerjakan satu kali saja.
Namun, diritualkan berkali-kali, hingga kebaikan itu menjadi nafas dalam
hidupnya.
Seperti
shalat, bukanlah disebut muslim jika shalatnya hanya dikerjakan satu kali saja.
Puasa ramadhan pun, walaupun dikerjakan satu bulan dalam setahun, namun ibadah
ini akan menjadi ritual yang diulang di tahun-tahun berikutnya. Begitu pula
zakat, dzikir dan amalan-amalan kebaikan lainnya, yang diajarkan untuk
dilakukan berulang kali, terus-menerus, dan menjadi kebiasaan. Pada akhirnya
kita akan sadar, bahwa Islam adalah ajaran “kebiasaan”.
Dibiasakan
kebaikan hingga kebaikan itu berpendar menerangi kehidupannya, dan juga
kehidupan orang lain. Diritualkan kebaikan itu hingga kehidupan seorang muslim
menjadi baik, lebih baik, dan semakin baik. Hingga pada akhirnya, seorang
muslim menemui Rabb-nya dalam keadaan paling baik.
Duhai,
bukankah itu cita-cita tertinggi kita sebagai seorang hamba penyembah Allah?
Bertemu dengan Allah dalam keadaan terbaik. Yakni, keadaan saat Allah Ridha terhadap
kita. Apalagi jika bukan keadaan berislam? Keadaan saat nilai-nilai Islam kita
peluk erat-erat dalam jiwa. Keadaan saat Islam tidak hanya kita teorikan saja,
namun senantiasa terlaksana seperti biasanya. Hingga kita meninggal pun tetap
dalam kondisi meritualkan ajaran-ajaran Islam yang agung.
Seperti
kondisi meninggalnya Amir bin Abdillah bin Zubeir rahimahullah yang
harus membuat kita iri. Betapa tidak, beliau menghela nafasnya yang terakhir
dan meninggal dalam keadaan bersujud. Sesederhana itu apakah harus membuat kita
iri? Seharusnya, ya. Beliau rahimahullah telah bersungguh-sungguh
melaksanakan dan membiasakan ajaran agama yakni menyembah Allah dan
menghiasinya dengan sebenar-benar takwa, lalu menuntaskan ajaran kebaikan
tersebut sebagaimana perintah Allah, “dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan muslim.” (Q.S Ali-Imran: 102). Ya, Amir bin
Abdillah bin Zubeir rahimahullah mati dalam keadaan bersujud. Ia mati
dalam keadaan menyembah Allah, dalam keadaan berislam.
Seperti
tafsiran Ibnu Katsir tentang ayat tersebut, “karena orang yang mati dalam
keadaan mulia adalah orang yang membiasakan diri berakhlak mulia”. Maka,
apabila kita berharap bertemu dengan Allah dalam keadaan terbaik dan dalam
keadaan mulia, semestinya kita membiasakan perbuatan-perbuatan baik dan mulia
selama hidup. Memulai kebaikan saat ini, detik ini juga. Berlanjut hingga esok,
dan berakhir sampai masa itu tiba. Masa saat telah tuntas rejeki Allah turunkan
kepada kita, yakni kematian.
Tidak,
kita berbuat baik ini tidak kita lakukan untuk waktu yang abadi. Perbuatan baik
yang harus kita lakukan hanya sampai kita dipanggil Allah saja. Saat itulah
kita berhenti dan tak berbuat apa-apa lagi. Maka, katakanlah pada hati-hati
kita saat lelah mulai menjelma resah, “Tenanglah, wahai jiwa! Sabarlah!
Lelahnya beribadah kepada Allah dan berbuat kebajikan untuk manusia hanya
sebentar saja, hanya sampai Allah panggil kita ‘pulang’.”
Kita
hanya akan dimatikan dalam keadaan seperti kebiasaan semasa hidup kita. Seperti
kekata para ulama yang patut kita renungi mulai saat ini, “man ‘aasya alaa
syai’an maata ‘alaih”. Yang artinya, barangsiapa yang hidup dalam kebiasaan
tertentu, dia akan mati dalam keadaan seperti biasanya itu. Maka sekarang, coba
kita tanyakan dalam hati, “ingin mati dalam kondisi seperti apakah aku?"
Lalu, marilah kita mulai membiasakan diri dan larut dalam kebaikan-kebaikan
yang Islam ajarkan, baik kebaikan kepada Allah maupun kebaikan untuk sesama
manusia.
[Mia
Kusmias]
Posting Komentar untuk "Islam, Ajaran Kebiasaan"