Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Munafikkah Kita? (Bagian I)

Munafikkah Kita?

Picture source: afrakids.com

Saudaraku kaum Muslimin.

Ada satu kata yang didengar oleh telinga orang normal kurang nyaman atau sedikit menjijikkan, yaitu kata munafik (kalau orangnya banyak disebut munaafiquun). Munafik adalah salah satu sifat manusia yang tidak sportif, tidak mau berterus terang, jika dalam kelompok binatang namanya keuyeup atau kepiting yang bisa hidup di dua alam –beungeut nyanghareup ati mungkir, neuteupna ka hareup lempangna nyangigir. Kepiting kalau berjalan mukanya menghadap ke depan, matanya mejeng ke samping, dan jalannya menjadi miring. Oleh karena itu, orang munafik disebut juga si keuyeup.

Munafik berasal dari annaafiqaa-u artinya ‘lubang tikus’. Salah satu lubangnya disebut annaafiqaa, sedangkan kata asalnya nafaq, yakni ‘lubang di bawah tanah’ (tidak nampak). Al-Qur’an mengungkapkan munafik di 27 tempat, sementara kata nifaq dalam bentuk masdar ada di tiga tempat.
Orang munafik sebenarnya lebih berbahaya daripada kafir, makanya ancaman Allah pun amat keras;

Pertama, mendapat siksa dua kali sebelum siksa yang besar (QS. At-Taubah [9]: 101), “Nanti mereka akan Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar”.

Kedua, dimasukkan ke neraka dengan kekal, dilaknat Allah selama-lamanya di neraka yang paling dalam (QS. An-Nisa [4]: 145), “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka.”

Ketiga, dilupakan Allah.

Untuk mengetahui orang yang layak memperoleh gelar munafik boleh dibilang gampang-gampang susah. Sangat mudah untuk dirasakan, tapi susah untuk dilihat. Tak ubahnya seperti kentut, ada baunya tapi tak tampak bentuknya. Akan tetapi, sebenarnya setiap orang bisa meraba dirinya sendiri berdasarkan atas sabda Nabi bahwa ciri-ciri orang munafik itu ada tiga macam, jika bicara dusta, jika berjanji tidak ditepati, jika diamanati khianat. Siapa saja yang melakukan tiga hal tersebut, baik salah satu atau seluruhnya, maka dia langsung menyandang predikat munafik dan sekaligus memperoleh tiket masuk neraka.

Pada permulaan Islam di Mekah boleh dikatakan belum ada orang munafik yang ada hanya orang musyrikin, seperti Abu Jahal, Abu Lahab, dan Abu Sufyan, yang ternyata mereka tidak berhasil melumpuhkan Islam. Akan tetapi, ketika di Madinah barulah ditemukan satu kekuatan yang amat berat untuk dihadapi umat Islam, yaitu golongan munafik. Mereka sudah menggalang kekuatan bersama Yahudi dalam kedengkiannya terhadap Islam. Mereka justru termasuk dalam kelompok elite rengrengan para sahabat, berada di lingkungan Rasul. Dalam kesehariannya sudah sagulung sagalang dengan umat Islam. Waktu itulah mereka hampir saja berhasil membunuh Nabi serta memecah belah persatuan dan kesatuan umat Islam.

Bagi orang kafir menghancurkan Islam harus berpikir seratus kali karena sudah jelas diketahui kulitnya, namun bagi orang munafik amatlah mudah karena dia sudah berselimut dengan kain Islam, apalagi bila sudah memakai bungkus ulama dengan predikat kiai haji, seperti julukan kepada Snouk Hourgronye alias Abdul Goffar.

Ketika itu terjadi beberapa peristiwa penting, antara lain;

Pertama, saat menjelang Perang Uhud, Abdullah bin Ubay bin Shalul bersama 300 pengikutnya menarik diri dengan dalih mau bertahan di kota.

Kedua, ketika terjadi perkelahian karena berebut air antara dua anak muda, Jahyah bin Mas’ud  dan Sinan bin Wabar, waktu itu barulah umat Islam sadar bahwa di lingkungan mereka sudah ada orang-orang munafik. Waktu itu Umar mengusulkan kepada Nabi agar Abdullah bin Ubay dibunuh, tapi Rasul melarangnya karena memang sudah jelas bahwa Abdullah bin Ubay telah memanfaatkan situasi tersebut dengan mengeluarkan pernyataan yang tendensius dan menghasut, seperti.. kini mereka telah memulai, mereka sudah mendesak kita, mereka sudah menandingi kita justru di halaman kita, maka kita dengan para petualang Quraisy itu bagaikan menggemukkan anjing yang akhirnya akan memangsa kita sekalian.

Ketiga, peristiwa fitnah yang menjijikkan, yakni tuduhan berlaku serong terhadap Siti Aisyah sehingga turun surat An-Nur [24]: ayat 11-23.

Dan keempat, kasus mesjid diror ketika nabi kembali dari Perang Tabuk. Mereka sangat ahli dalam merancang situasi konflik yang selanjutnya dimanfaatkan untuk memecah belah umat Islam.


*Dicatut dari Buku ‘Komunis Lebih Ekstrem Daripada Iblis’ 
Karya KH. Olih Komarudin 
Penerbit PT. Alma’arif Bandung


Penulis: Ida Ayu Nur’Arofah     

Posting Komentar untuk "Munafikkah Kita? (Bagian I)"