Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendidikan Keluarga dan Masyarakat / Family and Community Education

Family and Community Education 

Family and Community Education merupakan sebuah istilah dari model keterlibatan keluarga langsung dan lingkungan pendidikan multi-generasi yang dirancang untuk mendukung pengembangan sains dan literasi diantara anak-anak dan keluarga (Teemant et al., 2021). 


Berdasarkan lingkup tersebut, maka betapa pendidikan keluarga dan lingkungan dipandang penting dalam konteks keberhasilan pendidikan, sehingga juga berfungsi mendukung keberhasilan pendidikan sekolah. Peran pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan peserta didik. 


Bukan tanpa alasan, perkembangan dan pengaruh lingkungan saat ini akan mempengaruhi perkembangan jasmani dan rohani anak secara tidak langsung akan berdampak pada masa depannya nanti. 


Anak merupakan sumber potensi besar bagi kelangsungan dan kemajuan bangsa. Studi literatur yang dilakukan, bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya peran kemitraan dalam pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat untuk membentuk karakter anak bangsa serta menjelaskan bagaimana proses yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut (Suharyanto, 2020). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa 

Pertama, lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat dan juga komunitas memiliki peran yang sangat besar dalam menunjang tercapainya program pendidikan di sekolah (Amrillah et al., 2020). Program pendidikan di sekolah tidak dapat tercapai jika tidak didukung sepenuhnya oleh keluarga dan masyarakat. 

Kedua, peran keluarga dalam proses pencapaian tujuan pendidikan di sekolah dapat dilihat dari keikutsertaannya dalam mendampingi dan memotivasi anak dalam belajar, termasuk dalam hal dukungan dana. 

Ketiga, partisipasi masyarakat dalam mendukung tercapainya tujuan sekolah dapat terwujud antara lain berupa partisipasi dalam melaksanakan jam belajar masyarakat, menjaga keamanan sekolah, mendukung berbagai program sekolah yang bersentuhan langsung dengan kegiatankegiatan masyarakat (Syarifah, 2017). 


Sejalan dengan hal tersebut family and community education mempunyai relevansi dengan teori tri pusat pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara. 

Tri Pusat Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara bahwa tiga pusat pendidikan dalam kehidupan anak, yaitu: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat (Zulfiati et al., 2021). 


Dalam mewujudkan pendidikan anak tidak cukup jika hanya dengan tenaga pendidik di sekolah saja, tetapi suasana lingkungan juga memiliki pengaruh besar bagi berlangsungnya pendidikan. 

Perlu adanya kesadaran bagi setiap lingkungan tentang hak dan kewajibannya serta dibutuhkan kerjasama yang baik dalam perkembangan pendidikan dari ketiga lingkungan. Relevansi pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang tripusat pendidikan, juga sejalan dengan pendidikan Islam. 

Keluarga dalam perspektif pendidikan Islam mempunyai relevansi bahwa, keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama yang dapat mempengaruhi perkembangan pendidikan anak (Yusuf Siswantara, Ace Suryadi, 2023). Dalam Islam yang bertanggung jawab atas perkembangan pendidikan anak dalam lingkungan keluarga adalah orangtua. Sekolah dalam pendidikan Islam yaitu lingkungan pendidikan kedua yang berkewajiban dalam memberikan ilmu pengetahuan, intelektual, dan budi pekerti anak, yang bertanggung jawab atas perkembangan pendidikan anak yakni seorang guru. 

Masyarakat dalam pendidikan Islam yaitu lingkungan ketiga setelah keluarga dan sekolah bahwa setiap anggota masyarakat memiliki tanggung jawab dalam pendidikan anak (Mukrimaa et al., 2016). Dalam ajaran Islam setiap anggota masyarakat memiliki tanggung jawab atas segala bentuk dalam setiap perbuatannya. 


2. Pendidikan Sekolah/Madrasah Humanis-Religius, Integralistik Pendidikan sekolah/madrasah mempunyai peran strategis sebagai sarana human resources and human investment (Arifin, 2019). Artinya, pendidikan selain bertujuan menumbuhkembangkan kehidupan yang lebih baik, juga telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etika dalam proses pemberdayaan jati diri bangsa. 


Berangkat dari arti penting pendidikan ini, maka wajar jika hakekat pendidikan merupakan proses humanisasi. Humanisasi bagi Malik Fadjar berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah- psikologis (Muhammad, 2020). Aspek rohaniah – psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan kamilkan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban (Sirojudin, 2018). 

Dari pemikiran ini, maka pendidikan merupakan tindakan sadar dengan tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil). Pendidikan pada hakekatnya merupakan upaya untuk membantu subyek didik supaya berkembang secara normatif, lebih baik dalam dimensi intelektual, moral dan psikologis (Robiasih et al., 2021). 

Pendidikan juga bertujuan untuk menyiapkan subyek didik memasuki masyarakat dan kebudayaanya yang terus berubah. Tugas humanistik ini tidak dapat direduksi menjadi penyesuaian sekolah pada kebutuhan praktis sesaat seperti untuk mengisi lowongan pekerjaan (Arifin, 2019). 


Oleh karena itu pendidikan hendaknya mampu memperhatikan semua perkembangan anak didik sebagai manusia seutuhnya. Kondisi empiris menunjukkan bahwa sampai saat ini masih sering terjadi praktek pendidikan yang membelenggu kebebasan hakiki manusia. Peserta didik masih saja menjadi obyek bukan subyek yang berkembang. 

Pendidikan sering terjadi dianggap sebagai publik intelektual yang dituntut agar mampu menghasilkan pelaku-pelaku pembangunan yang handal. Pendidikan diharapkan bersifat humanis-religius, bahwa pengembangan kehidupan (ilmu pengetahuan) tidak terlepas dari nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan (Muhammad, 2020). 

Masyarakat di negara ini menghargai nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan sebagai sumber membangun kehidupan yang harmonis di antara bermacam-macam etnik, kelompok, sosial, agama, dan daerah. Nilai keagamaan dan kebudayaan merupakan nilai inti bagi masyarakat yang dipandang sebagai dasar untuk mewujudkan cita-cita kehidupan yang bersatu, bertoleransi, berkeadilan, dan Sejahtera (Sirojudin, 2018). 


Untuk mengungkap fenomena religiusitas secara teoretis, berikut ini dikemukakan salah satu konsep yang banyak dianut para ahli psikologi dan sosiologi yaitu konsep religiusitas rumusan Glock & Stark. Selanjutnya teori ini digunakan untuk mengupas nilai humanis-religius. Bahwa unsur-unsur keberagamaan meliputi 

(1) kepercayaan keagamaan (religious belief) atau aqidah sebagai dimensi ideologi dan konseptual, 

(2) praktek keagamaan (religious practice) sebagai dimensi ritual. 

(3) Perasaan atau penghayatan keberagamaan (religious feeling) sebagai dimensi pengalaman, 

(4) pengetahuan keagamaan (religious knowledge) sebagai dimensi intelektual, dan 

(5) dampak keagamaan (religious effects) sebagai dimensi konsekwen (akibat) yang ditampilkan dalam perbuatan yang mencerminkan citra diri seseorang (Glock & Stark, 1965: 18-38). 


Bahwa keberagamaan seseorang itu meliputi berbagai sisi atau dimensi; dengan kata lain, agama merupakan sebuah sistem yang berdimensi banyak (Djamaluddin Ancok, 2001:76). Dalam membahas religiusitas dalam perspektif Islam, Djamaluddin Ancok mengungkapkan bahwa konsep religiusitas versi Glock & Stark adalah rumusan brillian, karena melihat keberagamaan seseorang bukan hanya dari satu dimensi sebagaimana juga dalam Islam. 


Keberagamaan dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ritual saja, tetapi juga aktivitas-aktivitas lainnya. Pada dasarnya di dalam Islam dikenal ada 3 bagian yakni Aqidah, Syari’ah dan Akhlak. Disisi lain ada pembagian Iman, Islam dan Ikhsan. Islam sebagai suatu sistem menyeluruh, maka menyuruh pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh pula. Rumusan Glock & Stark yang membagi keberagamaan menjadi lima dimensi dalam tingkatan tertentu mempunyai kesesuaian dengan Islam (Djamaluddin Ancok, 2002: 79-80). 

Dengan demikian aspek pendidikan religius dalam pendidikan dimaksud, bahwa peserta didik dibentuk sesuai pandangan religiusitas yakni keberagamaan seseorang itu menyatu dalam dirinya secara utuh, mempribadi dalam diri individu peserta didik. 


Pendidikan humanis-religius mengandung dua konsep pendidikan yang ingin diintegrasikan, yaitu pendidikan humanis dan pendidikan religius.


Pengintegrasian dua konsep pendidikan ini dengan tujuan untuk dapat membangun sistem pendidikan yang dapat mengintegrasikan keduanya. Pendidikan humanis yang menekankan aspek kemerdekaan individu diintegrasikan dengan pendidikan religius agar dapat membangun kehidupan individu) yang memiliki kemerdekaan dan keberagamaan utuh yang menyatu dalam diri peserta didik (Muhammad, 2020). 

Pendidikan humanis-religius juga bisa dipahami sebuah konsep keagamaan yang menempatkan manusia sebagai manusia, serta upaya humanisme ilmu-ilmu dengan tetap memperhatikan tanggung jawab atas ungkapan Hablun Min Allah dan Hablun Min An-Nas (Achmad Zainuri Rosid, 2023). Secara umum, realisasi praktik pendidikan masih jauh dan pemikiran pendidikan humanis-religius.


Pendidikan tradisional dalam realisasinya di sekolah masih cenderung berorientasi pada buku dan guru, dan penyampaian informasi atau data tentang kehidupan secara statis. Murid diposisikan sekadar penerima pengetahuan dari nilai-nilai secara pasif sehingga pengetahuan dan nilai-nilai tidak memiliki arti dinamis bagi perubahan kehidupan murid atau masyarakat. Pengetahuan dan nilai- nilai sekadar menjadi objek pasif yang seolah-olah dapat diberikan atau dipindahkan pada orang lain, yang terlepas (terasing) dan maknanya yang dinamis bagi perubahan kehidupan manusia (Manshuruddin et al., 2021). 

Sudah semestinya masyarakat menghargai nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan sebagai sumber membangun kehidupan yang harmonis di antara bermacam-macam etnik, kelompok, sosial, dan daerah. Kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk sangat rentan terhadap berbagai konflik sosial (seperti etnisitas, strata sosial, pengangguran, kejahatan, dan kebodohan) yang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa. 

Oleh karenanya pemecahan masalah sosial tersebut perlu memerlukan pendekatan nilai keagamaan dan kemanusiaan sebagai dasar kearifan untuk mencari cara pemecahannya, di samping cara yang bersifat ilmiah pragmatis. Pendidikan dalam realitanya masih mengalami dehumanisasi karena pengetahuan nilai-nilai masih diartikan sebagai objek pemilikan (having) bukan menjadi pengetahuan dan nilai yang membangun perubahan diri (being) (Mendelson et al., 2010). 

Ada keterpisahan antara pengetahuan dan nilai-nilai dengan diri manusianya, dan karena keterpisahan itu manusia mengalami proses dehumanisasi, dan manusia mengalami penurunan martabatnya menjadi serendah binatang yang serakah. 

Pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan dibangun manusia sebenamya adalah sebuah konstruksi perilaku yang melekat dalam diri manusia (seseorang) dan digunakan untuk memecahkan masalah kehidupannya untuk mewujudkan tujuan kehidupan yang mulia. Namun dalam realita yang terjadi dalam dunia pendidikan bahwa pengetahuan dan nilai berubah menjadi sekedar kata-kata, ucapan-ucapan kosong yang bersifat verbalistik. 

Pengetahuan dan nilai-nilai kehilangan makna tindakan, yaitu pengetahuan dan nilai-nilai yang diamalkan bagi perubahan kehidupan.  

Posting Komentar untuk "Pendidikan Keluarga dan Masyarakat / Family and Community Education"