Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

RESUME PENGAJIAN NUZULUL QURAN DI MASJID GEDHE YOGYAKARTA

*RESUME PENGAJIAN NUZULUL QURAN DI MASJID GEDHE YOGYAKARTA*

16 Ramadhan 1439 / 1 Juni 2018 *TAFSIR SURAT AR-RAHMAN* *AYAT 60* *Oleh KH. Anang Rikza Masyhadi, MA* هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ [سورة الرحمن 60] _"Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula."_ (Qs. Ar-Rahman [55]: 60) Ayat ini merupakan janji dari Allah SWT bahwa setiap perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan. Artinya, tidak mungkin Allah akan membalas perbuatan baik dengan keburukan. Jika Allah berjanji, Dia tidak akan mengingkarinya! _"innahu laa yukhliful mi'aad"_. Di dalam kenyataan sehari-hari, jika kita berbuat baik kepada orang lain, maka ada 4 kemungkinan balasan yang akan kita terima: 1. Dibalas lebih baik 2. Dibalas sama baiknya 3. Dibalas lebih buruk 4. Dibalas dengan pengkhianatan


Bagaimana sikap kita terhadap masing-masing kemungkinan itu? Jika kemungkinannya adalah nomor satu atau dua; dibalas lebih baik atau sama baiknya, mungkin tidak terlalu masalah. Bahkan, kita mungkin akan merasa senang karena kebaikan kita dibalas dengan lebih baik atau minimal sama. Bagaimana seandainya jika kebaikan kita dibalas lebih buruk atau malah dikhianati? Jika kita berbuat baik kepada, misalnya 1000 orang, yang 999 orang ternyata mengkhianati kebaikan kita itu, akankah esok hari kita masih semangat berbuat baik lagi? Atau, malah kita merasa kapok dan akhirnya memutuskan untuk berhenti berbuat baik? Pertanyaan selanjutnya: sebetulnya untuk kepentingan siapakah kita berbuat kebaikan? Jika merujuk pada janji Allah pada ayat di atas: _"Tidak ada kebaikan kecuali balasannya kebaikan pula"_, maka sikap kita dipastikan akan positif. Bahkan, kita tidak akan peduli bagaimanapun dan apapun reaksi/ balasan orang lain terhadap kebaikan yang kita lakukan itu. Apakah kebaikan kita akan dibalas lebih baik, sama baiknya, atau lebih buruk dan bahkan pengkhianatan, sama sekali tidak berpengaruh pada komitmen kita pada kebaikan itu sendiri. 

Penjelasannya begini. Setiap kebaikan yang kita lakukan, pasti akan dicatat oleh malaikat, dan akan dibalas oleh Allah. Sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan, Allah Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Allah akan membalas kebaikan tersebut, bahkan dengan balasan kebaikan yang berlipat lipat, dengan balasan kebaikan yang tidak kita sangka-sangka. Sebetulnya yang membelenggu adalah cara pandang kita yang keliru. Kita keliru apabila: 1. Menganggap bahwa jika berbuat baik kepada seseorang, katakanlah kepada si A, maka si A itulah yang harus membalas kebaikan kita. Ini keliru besar! 2. Menganggap bahwa jika melakukan kebaikan berupa sesuatu perbuatan, katakanlah kebaikan berupa B, maka balasannya harus berupa B. Ini pun keliru besar! 3. 

Menganggap bahwa kebaikan yang kita lakukan hari ini balasannya harus besok. Sebuah kekeliruan yang fatal. Ketiga hal di atas keliru besar. Sebab, bisa jadi kebaikan kita pada seseorang, balasannya melalui seseorang yang lain, bahkan mungkin melalui seseorang yang kita tidak mengenalnya sama sekali. Di sinilah Allah Bekerja dengan cara-Nya sendiri; melalui siapakah kebaikan kita itu akan dibalaskan. Bisa jadi pula, saat kita berbuat baik, misalnya dengan menolong menyeberangkan orang tua di jalan raya, balasannya tidak mesti bahwa kita akan diseberangkan orang. Jadi, apa bentuk balasan terhadap suatu kebaikan tidak selalu harus sama dengan kebaikan yang kita berikan. Di sinilah Allah Bekerja dengan caranya sendiri; Allah Maha Mengetahui apa yang menjadi kebutuhan kita sehingga balasan kebaikannya bisa jadi berupa sesuatu yang kelak akan kita perlukan. Dan jangan pula merasa bahwa kebaikan kita belum dibalas. Bisa jadi, balasannya tidak langsung kita terima saat itu, dan bisa jadi pula balasannya akan dilimpahkan Allah kepada keluarga dan anak cucu kita. 

 Intinya, bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan tidak mungkin akan hilang begitu saja; semuanya tercatat dengan teliti dalam perhitungan Allah SWT. Dan janganlah komitmen kita dalam berbuat baik dipengaruhi oleh sikap orang lain, sebab ini namanya pamrih. Perbuatan yang didasari karena pamrih seperti ini, maka putuslah keberkahannya. Maka, teruslah berbuat baik. Teruslah melakukan kebaikan-kebaikan. Jangan pernah bosan menjadi orang baik. Sebab, hakekatnya berbuat baik itu untuk dirinya sendiri. Oleh karenanya, Allah kembali menegaskan: إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا [سورة اﻹسراء 7] _Jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka kerugian kejahatan itu untuk dirimu sendiri._ (Qs. Al-Isra [17]: 7) Gambaran penjelasannya kira-kira seperti ini: setiap kali kita berbuat baik seperti seseorang yang sedang menabung. Semakin banyak kebaikan yang dilakukannya, semakin banyak tabungan yang dihasilkannya. Jika seseorang rajin menabung sejak remaja, maka saat ia dewasa dan membutuhkan biaya untuk pernikahan, misalnya, maka ia pun tidak cemas karena bisa mengambil dari tabungannya. Karena tabungannya banyak, maka masih tersisa, dan saat ia membutuhkannya lagi untuk merintis modal usaha, maka ia pun masih bisa mengambilnya lagi dari tabungannya itu. Berbeda halnya jika seseorang tidak memiliki tabungan sama sekali. Jika memerlukan untuk sesuatu kebutuhan, apa yang akan diandalkannya sementara ia tidak memiliki tabungan? Demikianlah kebaikan itu seperti halnya tabungan. Setiap kebaikan yang kita lakukan hakekatnya adalah menambah saldo. 

Jadi, Maha Benar Allah dengan firman-Nya bahwa: 1. Tidak ada suatu kebaikan kecuali balasannya adalah kebaikan pula. (55:60) 2. Sebuah kebaikan yang kita lakukan untuk orang lain hakekatnya kita sedang berbuat kebaikan untuk diri sendiri. (17:7) Berbuat baik adalah sebuah keharusan dan dalam rangka memenuhi perintah Allah. Sehingga, saat kita berbuat baik, fokusnya adalah kepada Allah, bukan kepada manusia! Jika fokus kepada Allah, maka kita akan yakin pada ayat 60 (surat Ar-Rahman) dan ayat 7 (Al-Isra). Dalam hal berbuat baik, maka rumusnya: 55:60 dan 17:7! Jika fokusnya pada manusia, maka kita akan mengalami kegelisahan dan keletihan hati. Saat kebaikannya tidak dibalas, atau dibalas lebih buruk, atau bahkan dikhianati, maka yang akan timbul adalah sakit hati dan dorongan untuk berhenti berbuat baik. Sementara saat kebaikan dibalas lebih baik lantas kita menjadi semangat berbuat kebaikan lagi. Jika demikian, maka fokus kebaikan kita bukanlah Allah, tapi manusia! Saat itulah amal kebaikan kita menjadi sia-sia. Lihatlah para nabi dan rasul, termasuk Rasulullah SAW. Kebaikannya tidak jarang dibalas dengan cacian, fitnah, dan ejekan. Tidak jarang Rasul malah diejek sebagai orang gila _(majnun)._ Jika kebaikan mereka fokusnya adalah manusia pastilah risalah dan dakwah mereka tidak akan sampai pada kita hari ini. Lihatlah pula para sahabat Nabi dan orang-orang saleh setelahnya sepanjang masa. Mereka terus menerus memproduksi dan menebar kebaikan di masyarakatnya, meskipun tidak jarang mereka mengalami pengkhianatan-pengkhianatan. 

Maka, ada sebuah ungkapan mengatakan bahwa ujian orang baik adalah kebaikanya sendiri, sebagaimana ujian orang saleh adalah kesalehannya sendiri. Ini tafsir untuk orang yang berbuat baik, dari sisi subyek (pelaku). InsyaAllah nanti saya akan kupas lagi tafsir ayat untuk orang yang dibaiki atau mendapat perlakuan baik dari orang lain, yaitu dari sisi obyek. Inilah salah satu cerminan akhlak Islam. Seorang muslim ibarat sebuah pabrik yang terus menerus memproduksi dan menebar kebaikan-kebaikan. Andaikata satu ayat ini saja (Ar-Rahman: 60) dapat dipahami dengan benar dan menjadi bagian dari akhlak setiap orang muslim, sungguh alangkah mempesonanya Islam dan kaum muslimin itu. Maka, ayat-ayat Al-Quran jangan sekedar dibaca berulang-ulang, tapi pahami dan amalkan dalam perilaku. Dan inilah dakwah kita yang sesungguhnya. _WalLaahu a'lam_ _WalLaahu Waliyyut-taufiq_. ditranskrip oleh: Affandi, S.Pd.I (Sekpim) *www.tazakka.or.id*

Posting Komentar untuk "RESUME PENGAJIAN NUZULUL QURAN DI MASJID GEDHE YOGYAKARTA"