Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sikap Fraksi PAN terhadap Polemik Perpu


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Salam sejahtera untuk kita semua,

Pimpinan dan Anggota DPR RI, serta Hadirin Sidang Paripurna yang kami muliakan

1. Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan atau Perppu Ormas sepatutnya merupakan kewenangan Presiden yang ditetapkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Namun, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 menentukan 3 syarat, agar suatu keadaan secara objektif dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa, yakni:
  • Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang yang  berlaku.
  • Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau UU yang ada dianggap tidak memadai untuk mengatasi keadaan.
  • Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa, karena akan memakan waktu yang cukup lama. 

2. Penetapan Perppu Ormas oleh Pemerintah dengan alasan kegentingan yang memaksa sesungguhnya terbantahkan dengan kehadiran UU No. 17 Th. 2013 tentang Ormas yang mengatur cukup baik tentang berbagai hal, termasuk upaya pengawasan, ketentuan larangan maupun sanksi administratif.

3. Sikap Fraksi PAN ini juga sejalan dengan organisasi masyarakat, diantaranya PP Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Matlaul Anwar, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Al Washliyah, Aswaja Banten dan Jatim, Persatuan Ormas Islam se-Banten  dan  Ormas-Ormas Islam lainnya, serta aspirasi sebagian besar masyarakat yang intinya menilai, bahwa Perppu Ormas yang dikeluarkan Pemerintah terindikasi kuat mengancam demokrasi justru ketika demokrasi perlu untuk diperkuat oleh siapapun, terutama pemerintah. 

4. Dihapuskannya mekanisme peradilan dengan keberadaan Pasal 61 ayat 3 huruf a dan huruf b jo. Pasal 80A Perppu, yang pada pokoknya menyatakan, bahwa pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Mendagri dan pencabutan status badan hukum oleh Menkumham sekaligus dinyatakan sebagai pembubaran ormas oleh pemerintah, merupakan bentuk pengabaian atas prinsip-prinsip negara hukum dan negara demokrasi. Bahwa persamaan dalam hukum (Equality before the Law) dan Asas legalitas (Due Process of Law), merupakan ciri utama negara demokratis. Tanpa kehadiran dan penegakan asas-asas hukum tersebut, pemerintah akan terjerumus ke dalam ranah kekuasaan otoriter.

5. Fraksi PAN juga prihatin dengan keberadaan Pasal 59 ayat (4) huruf c yang menyatakan bahwa Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Fraksi PAN sepakat dengan para pakar Hukum Tata Negara dan Pakar Pidana yang dihadirkan oleh Komisi II, yang menilai bahwa pasal ini merupakan salah satu pasal karet dalam Perppu Ormas. Perppu Ormas tidak menjelaskan secara detail mengenai penafsiran paham yang bertentangan dengan Pancasila. Di sisi lain, penafsiran sebuah paham atau ajaran tanpa melalui pengadilan hanya akan memunculkan tafsir tunggal dari pemerintah. 

6. Fraksi PAN sangat menyayangkan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 82A ayat (2) dan ayat (3) Perppu Ormas yang menyatakan bahwa setiap orang yang menjadi anggota dan atau pengurus ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung menganut paham yang bertentangan dengan Pancasila dipidana mulai dari seumur hidup atau pidana penjara penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun. Ketentuan seperti ini tidak pernah ada sebelumnya dalam UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas, bahkan tidak pernah terjadi di era pemerintahan sebelumnya, baik di era orde lama maupun orde baru. 

7. Pembubaran Ormas berdasarkan asas contrarius actus adalah tidak tepat, karenanya tidak dapat diterapkan kepada Ormas. Asas hukum ini berlaku hanya diperuntukan bagi kasus administrasi pemerintahan. Pemberian status hukum sesungguhnya tidak hanya sekadar berhubungan dengan keabsahan administratif, tetapi dalam hal tertentu memiliki aspek pembentukan subyek hukum baru. Karenanya, mekanisme pencabutan hak dan kewajiban yang  melekat pada subjek hukum, harus dilakukan melalui putusan pengadilan. 

8. Fraksi PAN ingin meluruskan pemikiran keliru sebagian pihak, yang beranggapan bahwa penolakan terhadap Perppu Ormas merupakan bentuk dukungan terhadap gerakan anti Pancasila dan intoleransi. Kami menegaskan, bahwa Fraksi Partai Amanat Nasional akan berada di garis terdepan dalam menjaga Pancasila, Kebhinekaan, dan keutuhan NKRI. Bagi Fraksi PAN, Pancasila adalah final dan tidak dapat digugat oleh pihak manapun, karenanya tidak ada tempat bagi siapa pun di Republik ini yang berniat untuk mengganti Pancasila. 

9. Sesungguhnya menurut Fraksi PAN, terdapat permasalahan yang jauh lebih mendesak dan genting, yaitu menyangkut bahaya narkoba dan ketenagakerjaan (pengangguran). Data BNN menunjukkan pada bulan Juni 2015 tercatat setidaknya 4,2 juta orang menjadi korban Narkoba, dan hal ini meningkat cukup tajam pada November 2016 yakni 5,9 juta orang. Dilain pihak masih tingginya angka pengangguran di dalam negeri dan kenyataan banyaknya tenaga kerja asing yang telah masuk ke Indonesia, merupakan permasalahan bangsa yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Untuk itu Fraksi PAN berpendapat, jika pemerintah ingin mengeluarkan Perppu, maka Perppu menyangkut Narkoba dan Ketenagakerjaan adalah hal yang lebih utama dan relevan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Fraksi PAN menyatakan menolak RUU tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Ormas menjadi UU.

Billahitaufiq wal hidayah
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Posting Komentar untuk "Sikap Fraksi PAN terhadap Polemik Perpu"