Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Genosida Etnis Rohingya; Bagaimana Sikap Kita?

Oleh : Robby Karman
Beberapa hari ini media sosial kita dipenuhi oleh hiruk pikuk pemberitaan seputar genosida yang menimpa etnis Rohingya. Sebagian netizen malah asyik berdebat dengan sesamanya seputar genosida yang menimpa etnis Rohingya ini. Ada pelbagai hal yang menjadi topik perdebatan, misalnya konflik Rohingya ini disebabkan agama atau sumber daya alam? Foto-foto yang tersebar di dunia maya asli atau hoax?

Ada berbagai perspektif yang dapat digunakan untuk melihat genosida etnis Rohingya. Perbedaan perspektif menghasilkan pembacaan yang berbeda terhadap penderitaan muslim Rohingya. Keragaman pembacaan melahirkan benturan gagasan. Hal ini diekspresikan melalui status atau komentar di media sosial. Terjadilah kegaduhan disebabkan perdebatan yang tak menemui titik pangkalnya.

Apa saja perspektif yang digunakan dalam melihat krisis kemanusiaan di Rohingya? 
Setidaknya ada 4 perspektif yang dipakai : 

1. sentimen agama murni, 

2. sentimen anti agama, 

3. ekonomi-sosial –politik serta 

4. HAM dan kemanusiaan.





Saat sekelompok netizen mempunyai perspektif sentimen agama murni, maka krisis kemanusiaan di Rohingya dilihat sebagai kekejaman penganut agama Buddha terhadap kaum muslim. Narasi pokok dari perspektif ini adalah kebencian agama Buddha terhadap agama Islam. Contohnya tulisan yang beredar di facebook dan whatsapp berjudul “Kurang Kejam dan Bengis Apalagi Ya Buddha?”.

Dalam tulisan tersebut penganut Buddha digambarkan lebih kejam dari penganut Kristen dan Yahudi. Hal ini disebabkan pembantaian yang mereka lakukan di Rohingya. Pertanyaannya apakah hanya biksu beragama Buddha saja pelaku genosida Rohingya? Kenapa junta militer Myanmar justru tak dibahas? Inilah contoh framing dengan perspektif sentimen agama murni.

Implikasi dari perspektif ini yaitu tersebarnya propaganda disertai agitasi keagamaan di media sosial. Tak hanya di media sosial, bahkan bisa menjadi aksi di dunia nyata. Misalnya seputar wacana pengepungan Candi Borobudur yang dianggap ikon agama Buddha di Indonesia. Hal ini dilakukan dalam rangka solidaritas sebagai sesama muslim.

Kebalikan dari sentimen agama murni, ada juga perspektif sentimen anti agama. Kelompok ini menganggap bahwa genosida etnis Rohingya telah dibajak kaum Islam garis keras untuk mengkampanyekan ideologinya. Implikasinya mereka tidak mau membela etnis Rohingya dari genosida yang menimpanya.

Menurut mereka membela etnis Rohingya berarti mendukung kaum muslim radikal. Perspektif sentimen anti agama berpendapat bahwa pembantaian etnis Rohingya sama sekali tidak ada unsur sentimen agama di dalamnya. Genosida yang terjadi murni karena motif-motif sekuler. Tak jarang mereka menyalahkan rakyat Rohingya karena suka melanggar hukum.

Perspektif ini dapat dilihat dalam kiriman-kiriman fanpage Denny Siregar. Menanggapi genosida etnis Rohingya, Denny malah nyinyir terhadap pihak yang dia sebut sebagai kaum bumi datar. Dia fokus membela Jokowi yang diserang karena persoalan Rohingya. Sama sekali tak ada empati yang ditunjukkan Denny terhadap krisis kemanusiaan di Rohingya.


Contoh Poster Framing Rohingya Hoax

Dua perspektif di atas mempunyai cacatnya masing-masing. Yang mengatakan bahwa genosida etnis Rohingya disebabkan oleh faktor agama saja tidak sesuai dengan realitas. Jika etnis Rohingya dibantai karena identitasnya yang muslim, pada kenyataannya di Myanmar bagian lain kaum muslim bisa hidup dan beribadah seperti biasa.

Adapun pendapat bahwa konflik Myanmar sama sekali tidak melibatkan sentimen agama di juga tidak sesuai realitas. Para biksu sayap kanan di sana terdorong oleh sentimen agama dalam mendukung junta militer untuk membersihkan etnis Rohingya. Yang jelas motif agama bukanlah satu-satunya pendorong genosida bahkan bukan faktor utama.

Lantas bagaimana meletakkan sentimen agama yang benar dalam genosida etnis Rohingya? Sentimen agama terlihat hanya dijadikan alat oleh pihak-pihak yang tertentu untuk meraih tujuannya. Agama dijadikan bensin yang membuat konflik semakin berkorbar. Kita akan temukan juga pola yang sama dalam konflik-konflik lain seperti konflik Suriah.

Junta militer Myanmar tak mau berlumuran darah sendirian. Bagaimana agar warga sipil mendukung mereka melakukan genosida terhadap etnis Rohingya? Warga sipil dipengaruhi dengan sentimen agama, dalam hal ini adalah agama Buddha. Keberadaan etnis Rohingya yang muslim dipropagandakan sebagai ancaman terhadap eksistensi penganut Buddha. Ibnu Rusyd pernah mengatakan, “Jika engkau ingin menguasai orang bodoh, maka manfaatkanlah sentimen agama.”
Hasilnya para biksu terlibat dalam melakukan genosida etnis Rohingya bersama-sama junta militer. Yang jelas kesalahan para biksu di Myanmar tidak selayaknya ditimpakan terhadap para biksu di Indonesia. Sebagaimana jika ISIS melakukan kekejaman di Suriah, kesalahan ISIS tidak bisa ditimpakan pada ustadz di Indonesia. Walaupun antara ISIS dan ustadz sama-sama beragama Islam.
Selanjutnya ada yang memandang genosida etnis Rohingya dari perspektif ekonomi, sosial dan politik. Menurut mereka, ekonomi, sosial dan politik adalah faktor utama terjadinya genosida terhadap etnis Rohingya. Daerah Rakhine tempat domisili etnis Rohingya menyimpan gas alam dan minyak yang cukup besar. Maka bisa dianalisis bahwa konflik sengaja dibuat agar junta militer dapat menguasai sumber daya alam disana.

Secara sosial dan politik, Rohingya memang tidak diakui oleh pemerintah sebagai etnis resmi di Burma. Hal ini menyebabkan etnis Rohingya dianggap imigran ilegal. Daerah Rakhine juga dihuni oleh mayoritas umat Buddha, Etnis Rohingya dianggap ancaman oleh umat Buddha karena akan mengganggu sumber mata pencahariannya.

Terakhir adalah perspektif HAM dan kemanusiaan. Cara pandang ini ampuh dalam menjawab pihak-pihak yang sinis terhadap etnis Rohingya dan berprasangka buruk bahwa membela Rohingya sama dengan membela muslim radikal. Biar bagaimanapun etnis Rohingya masih satu spesies dengan kita, yakni manusia.

Oleh karena itu, apapun alasannya mereka tidak boleh diperlakukan semena-mena oleh junta militer. Pemerintah Myanmar beralasan bahwa kekerasan terhadap etnis disebabkan beberapa kasus kejahatan yang dilakukan etnis Rohingya. Tentu saja siapapun yang melakukan tindak kriminal patut dihukum,namun mengapa hukuman ini ditimpakan kepada keseluruhan?

Bagaimanapun perilaku etnis Rohingya, mereka masih punya hak asasi yang wajib dilindungi. Memang dunia militer seringkali tak mengindahkan HAM. Beberapa jenderal besar di Indonesia terkena kasus pelanggaran HAM. Inilah yang coba diperjuangkan oleh pemerintah RI melalui jalur diplomasi. Sementara ini Aung San Suu Kyi sang peraih nobel perdamaian pun seolah tak bisa berbuat apa-apa, bahkan ikut mendukung junta militer.

Lantas perspektif mana yang sebaiknya kita ikuti? Kita bisa menggabungkan perspektif-perspektif tersebut secara proporsional. Kita dapat menggunakan perspektif HAM dan kemanusiaan tanpa menghilangkan spirit keagamaan. Analisis ekonomi sosial dan politik pun jangan diabaikan. Dengan cara ini maka pemahaman kita akan utuh dalam memahami genosida etnis Rohingya.

Selanjutnya apa yang bisa kita lakukan? Pertama, mendukung langkah-langkah diplomasi yang sedang dilakukan oleh pemerintah RI. Kedua, melakukan penggalangan dana dan memberikan donasi. Bisa disalurkan melalui Aliansi Kemanusiaan Indonesia Myanmar (AKIM) yang merupakan kumpulan lembaga filantropi di Indonesia. Ketiga, melakukan aksi-aksi damai sebagai wujud pemihakan dan solidaritas kepada kaum yang tertindas. Terakhir, jangan lupa berdoa!


Donasi Kemanusiaan Rohingya

Mandiri 123 000 5117 371
BNI Syariah 009 1539 444
atas nama Lazis Muhammadiyah (LAZISMU)
SMS/WA 0856 1626 222

Posting Komentar untuk "Genosida Etnis Rohingya; Bagaimana Sikap Kita?"