Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kajian Hukum Terhadap Pengembalian Status Kewarganegaraan Terhadap Seseorang Yang Telah Kehilangan Status Kewarganegaraan Indonesia

Fakta yang tidak terelakkan sepanjang tradisi pendidikan hukum adalah hukum tidak memiliki definisi tunggal, setiap pakar dan ahli hukum memiliki definisi tersendiri dalam menafsirkan dan menjelaskan maksud dari hukum itu sendiri, sampai saat ini belum ditemukan kesepakatan para ahli dan pakar tentang definisi hukum. Menurut Soekanto, memang sangat sulit untuk merumuskan definisi hukum, oleh karnanya, dia mencoba untuk mengantarkan dengan ilustrasi berikut yang cukup bernuansa non hukum:

Bukankah definisi itu merupakan pernyataan dari ciri-ciri suatu gejala atau fenomena yang dikenal. Berarti kata Soekanto, apabila hukum tidak bisa dirumuskan, maka hukum otomatis hukum itu tidak bisa dikenal ciri-cirinya atau tidak ada hukum sama sekali. Apabila hukum memang tidak ada, maka para hakim, pengacara, jaksa, polisi maupun ahli-ahli hukum hidup dalam dunia yang serba semu, kenyataannya tidaklah demikian.[1]

Melihat realitas di atas, Soekanto kemudian menjawab alasan mengapa hukum itu cukup sukar untuk dirumuskan dalam satu definisi yang tunggal. Menurutnya, alasan penting hukum itu memiliki definisi yang beragam adalah karena disebabkan perseteruan dua kubu, yakni disatu sisi ada pihak pertama yang membangun argumentasi berdasarkan pemikiran yang sempin tentang hukum, dan disisi lain terdapat pihak yang membangun argumentasi berdasarkan pemikiran yang sangat terbuka dan luas. Kubu yang berargumentasi sempit memandang bahwa hukum itu sebatas pada apa yang disahkan atau dipositifkan oleh raja, penguasa, atau negara; dan kubu kedua memandang hukum adalah sebagai bagian dari jaringan sosial yang sangat luas dan kompleks.[2]




Berangkat dari argumentasi di atas tentang paradigma hukum yang dikembangkan oleh para ahli dan pakar hukum, maka pada bagian dari makalah  ini, pemakalah akan mencoba melihat status kewarganegaraan Archandra Tahar berdasarkan paradigma hukum yang dikembangkan oleh para ahli atau pakar tersebut, yakni paradigma hukum dalam arti sempit dan luas.

Segi hukum dalam arti sempitnya, akan menganalisa status Archandra itu berdasarkan peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Negara melalui pejabat dan lembaga negara yang sah dan legal, dan segi hukum dalam arti luas akan mencoba melihat dari sisi etnografi atau identitas lokal Archandra.

A. Kehilangan Kewarganegaraan

Sesuai dengan ketentuan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dikatakan bahwa pada dasarnya UU Kewarganegaraan tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam UU Kewarganegaraan merupakan suatu pengecualian.

Pasal 23 butir a dan h UU Kewarganegaraan menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika (a) jika yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, dan (h) yang bersangkutan mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya.

Berdasarkan pasal tersebut, begitu seseorang dhi. Archandra Tahar mempunyai kewarganegaraan lain yang ditunjukkan dengan paspor negara tertentu, maka dengan sendirinya Archandra kehilangan statusnya sebagai WNI. Kehilangan status WNI tersebut berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan adalah secara otomatis/ dengan sendirinya, tidak memerlukan pembatalan ataupun penetapan oleh Menteri Hukum dan HAM atau Presiden.

Archandra Tahar kehilangan status WNI sejak menyatakan sumpah setia kepada United State of Amerika dan memiliki paspor Amerika pada Maret 2012. Namun sejak diangkat menjadi Menteri ESDM pada tanggal 27 Juli 2016 lalu Arcandra Tahar sebenarnya telah kehilangan status warga negara Amerika, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 349 (a) (4) The Immigration and Nationality Act (INA) yang menentukan bahwa seseorang berpotensi kehilangan kewarganegaraan Amerika Serikat-nya apabila ia telah berusia 18 dan menerima suatu jabatan di pemerintahan negara asing dengan mengambil sumpah untuk jabatan tersebut.

accepting employment with a foreign government after the age of 18 if (a) one has the nationality of that foreign state or (b) an oath or declaration of allegiance is required in accepting the position (Sec. 349 (a) (4) INA)”;

Hal tersebut sesuai dengan keterangan Kementerian Hukum dan HAM sebagaimana tercantum dalam Keputusan Kementerian Hukum dan HAM Nomor AHU-1. AH.10.01 Tahun 2016 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Atas Nama Arcandra Tahar, disebutkan bahwa sesuai dengan Certificate Of Loss Of The United States tanggal 12 Agustus 2016 yang disahkan oleh Dept. State Of United States Of America pada tanggal 15 Agustus 2016 dinyatakan bahwa Arcandra Tahar telah kehilangan warga negara Amerika.

Penulis sepakat dengan pendapat Prof. Mahfud MD mengenai status WNI Arcandra Tahar, bahwa Arcandra Tahar telah kehilangan status WNI-nya secara otomatis sejak memiliki paspor Amerika Serikat. Sebagaimana disebut oleh Prof. Mahfud yaitu:[3] Menurut hukum yang berlaku sekarang, yakni UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, seperti diatur di dalam Pasal 23 butir a, ”warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi warga negara lain kehilangan kewarganegaraannya. Kehilangan itu berlaku dengan sendirinya. Pasal 23 Butir a teresebut jelas menggunakan kata ”kehilangan”, bukan pencabutan. Oleh sebab itu, kehilangan kewarganegaraan itu terjadi secara otomatis, tak mensyaratkan prosedur pencabutan dari kementerian.

Itulah sebabnya Pasal 29 UU No 12 Tahun 2006 menegaskan bahwa menteri ”mengumumkan”, bukan ”menetapkan” WNI yang kehilangan kewarganegaraannya. Mengumumkan hanyalah bersifat administratif, bukan menjadi syarat tentang saat lain berlakunya kehilangan status kewarganegaraan itu di luar waktu ketika seorang WNI menjadi warga negara lain. Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2007 dalam Pasal 31 juga menggunakan frase ”hilang dengan sendirinya”. Sehingga, menjadi keliru ketika dikatakan bahwa sebelum paspor Indonesia WNI yang menjadi warga negara asing dicabut kementerian, status WNI untuknya masih melekat.

Dalam hal berlakunya satu peraturan atau keadaan di dalam hukum perundang-undangan dikenal dua cara, yakni promulgation dan publication, yang pertama menjadi syarat mulai berlaku dan mengikatnya satu peraturan atau keputusan, yang kedua hanya sekadar administratif sebagai pengumuman yang sebelum pengumuman pun keadaan hukum sudah berlaku.

Penempatan UU di dalam Lembaran Negara (LN), misalnya, menjadi syarat dan penanda mulai berlakunya suatu UU karena penempatan UU di dalam LN adalah promulgation alias pemberlakuan. Namun, pengumuman bahwa seseorang bukan lagi warga negara karena ”kehilangan kewarganegaraan” hanyalah bersifat informasi atau publikasi dan bukan menjadi syarat dan tanda mulai berlakunya status bukan WNI itu.

Pengumuman oleh Kementerian tentang hilangnya status kewarganegaraan seseorang hanyalah publication, tidak berlaku prospektif, tetapi berlaku surut sejak terjadi sesuatu atau yang bersangkutan melakukan langkah-langkah yang menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan. Kalau misalnya pada 18 Agustus 2016 kementerian mengumumkan seorang WNI kehilangan kewarganegaraan karena menjadi warga negara asing, maka keberlakuan kehilangannya itu bukan berlaku sejak 18 Agustus 2016, melainkan sejak yang bersangkutan menjadi warga negara asing, misalnya sejak 12 April 2012.

B. Pengembalian Status Warga Negara


PP Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewaganegaraan Republik Indonesia dalam pasal Pasal 2 menyatakan bahwa orang asing yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang dapat mengajukan permohonan Pewarganegaraan kepada Presiden melalui Menteri. Pasal 9 UU Kewarganegaraan mensyaratkan bahwa permohonan pewarganegaraan diantaranya adalah pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut. 

Undang-Undang Kewarganegaraan juga membuka keran pemberian kewarganegaraan terhadap orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia. Pasal 20 UU Kewarganegaraan memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberi kewarganegaraan kepada orang asing dengan syarat memperoleh pertimbangan dari DPR dan atas pemberian kewarganegaraan tersebut tidak mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda.

Sementara itu, pada tanggal 1 September 2016 Pemerintah dalam hal ini Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM telah mengumumkan secara resmi bahwa status WNI Arcandra Tahar telah dikembalikan, sebagaimana diatur dalam  Keputusan Kementerian Hukum dan HAM Nomor AHU-1. AH.10.01 Tahun 2016 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Atas Nama Arcandra Tahar. Dengan alasan pertimbangan asas perlindungan maksimum, dan UU Kewarganegaraan tidak mengenal status stateless, Pemerintah pun mengeluarkan diskresi dengan mengeluarkan Keputusan Menteri tersebut.

Pemerintah terkesan seperti terburu-buru mengeluarkan Keputusan Menteri tersebut diatas karena berpandangan bahwa dapat melanggar Pasal 36 UU Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganergaraan, karena terdapat ancaman pidana. Ayat 1 dan 2 berbunyi “Pejabat yang karena kelalaiannya melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini sehingga mengakibatkan seseorang kehilangan hak untuk memperoleh atau memperoleh kembali dan/atau kehilangan Kewarganegaraan Republik

Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun”. “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun”.

Menurut Penulis seharusnya Pemerintah dalam hal ini Kemenkumham tidak perlu khawatir mengenai hal tersebut, karena Arcandra Tahar melepaskan WNI karena kemauannya sendiri, begitu pula WN Amerika dia lepaskan dengan sendirinya. Adapun untuk mengembalikan kembali status WNI Penulis sepakat dengan pendapat Prof. Mahfud M.D dan Prof. Hikmanto cara yang ditempuh adalah mengikuti aturan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 huruf b UU Kewarganegaraan bahwa Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut.

“Dalam persyaratan harus bermukim di Indonesia berturut-turut selama lima tahun atau tidak berturut-turut selama 10 tahun, tidak dijelaskan apakah bermukimnya secara yuridis atau harus secara fisik. Pak Arcandra bisa menggunakan syarat itu, jika dia punya rumah tinggal di sini sepanjang 10 tahun terakhir, dia bisa dinilai telah bermukim selama 10 tahun tidak berturut turut,"[4] sehingga Pemerintah dapat melindungi Arcandra Tahar dari status stateless dan mengembalikan status WNI Arcandra Tahar dengan proses permohonan dari Arcandra Tahar sebagaimana Pasal diatas.

Lantas bagaimana jika dilihat dari sudut pandang atau perspektif kesukuan dan identitas lokal Arcandra? Arcandra beberapa minggu silam pernah mengatakan bahwa “saya ini adalah orang pandang, apakah wajah saya seperti orang amerika?”. Sehubungan dengan ini, seorang tokoh dan pelopor dari aliran mazhab sejarah hukum Friedrick Karl von Savigny (1779-1861) dengan ungkapan monumentalnya pernah mengatakan bahwa “des Recht vird nicht gemacht, es ist un wird mes dem Volke”, pada intinya ungakapan ini ingin menegaskan bahwa sesungguhnya hukum itu tidak dibuat melainkan ditemukan dalam suatu masyarakat. Tentu mazhab ini merupakan aliran yang selalu mengagung-agungkan masa lampau, hal ini diperkuat dengan argumen atau ungkapan yang mengatakan bahwa hukum yang benar-benar hidup hanyalah hukum kebiasaan.[5]

Melihat dari konseptual ini, maka seyogyanya bangsa tidak terlalu dibutakan dengan sedereta normatif yang akan mengancam identitas lokal bangsanya. Apabila seseorang memiliki identitas lokal dan menghabiskan masa-masa kecil dan hidupnya lebih banyak di Indonesia, maka seyogyanya diberikan akses yang istimewa tentang kewarganegaraan itu, atau diakui secara langsung oleh negara apabila yang bersangkutan mampu mempertanggung jawabkan identitas lokalnya itu.

Pemulihan kewarganegaraan Archandra memerlukan kebijakan dari semua pihak. Presiden harus berhati-hati dalam mengambil keputusan dengan berlandaskan Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”. Pemulihan kewarganegaraan hendaknya dilaksanakan dengan memastikan bahwa status Archandra sudah tidak menjadi warga negara USA lagi dan harus dengan persetujuan DPR tentunya.

Penunjukan dan pengangkatan Menteri ESDM Archandra Tahar menjadi teguran keras untuk Pemerintah Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam mengangkat seseorang untuk menduduki jabatan kenegaraan. Pemerintah harus bersinergi dengan berbagai kementerian dan lembaga yang terkait dengan masa lalu dan latar belakang seorang Warga Negara Indonesia, terutama jika orang tersebut sudah berkedudukan cukup lama di luar negeri.

Presiden Joko Widodo mengambil langkah tepat dengan langsung memberhentikan Archandra Tahar sebagai menteri. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah berbagai dampak negatif dan mengantisipasi isu politik yang kemungkinan akan terus berkembang jika seorang yang diragukan “kewarganegaraannya”nya menduduki jabatan penting dan strategis di negara ini.

Setelah yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat, Pemerintah dhi. Kementerian Hukum dan HAM telah mengeluarkan diskresi dengan mengumumkan secara resmi bahwa status WNI Arcandra Tahar telah dikembalikan dengan alasan pertimbangan asas perlindungan maksimum, dan UU Kewarganegaraan tidak mengenal status stateless.

Prosedur pemulihan statsus kewarganegaraan Archandra Tahar bisa saja menimbulkan pro dan kontra. Namun demikian, permasalahan kewarganegaraan Archandra Tahar secara hukum sudah selesai. Kita tinggal menunggu saja, perdebatan yang berkembang dimasyarakat mengenai pemulihan kewarganegaraan tersebut  akan menguji apakah diskresi pemerintah sudah sesuai dengan konstitusi ataukah berlawanan.

Dengan pembahasan yang sudah penulis jabarkan, maka kami dapat memberikan saran sebagai berikut :

a. Perlu ada reformasi mengenai pengaturan perundang-undangan mengenai status kewarganegaraan dengan memperjelas aturan dan sanksi hukumnya sesuai perkembangan saat ini.
b. Mempertegas kinerja daripada aparat penegak hukum terutama bidang yang berkaitan dengan keimigrasian agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
c. Perlu adanya seleksi khusus dalam proses pengangkatan menteri, terutama seleksi administrasi sehingga dapatlah kejelasan daripada status dari riwayat menteri yang terpilih

Ditulis oleh: Dania Syafaat, S.H.
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum UGM

Baca tulisan Dania lainnya disini


DAFTAR PUSTAKA


B. Hestu Cipto Handoyo,2003,  Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta
Bagir Manan,2004, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, 2004.
Soekanto, 1984, Antropologi Hukum, Materi Pengembangan Ilmu Hukum Adat, Jakarta
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2011, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Miriam Budiardjo,2008, Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi), Gramedia
Mahfud M.D., Pengaturan Dwikewarganegaraan, Kompas, Rabu 7 September 2016.
http://netralnews.com/news/nasional/read/19328/hikmahanto.juwana.arcandra.jangan.jadi.pemicu.revisi.uu.kewarganegaraan, 9 September 2016 pukul 09.17 WIB.

[1] Soekanto, 1984, Antropologi Hukum, Materi Pengembangan Ilmu Hukum Adat, Jakarta: Rajawali, hlm. 7.
[2] Ibid, hlm. 8.
[3] Mahfud M.D., Pengaturan Dwikewarganegaraan, Kompas, Rabu 7 September 2016.
[4] http://netralnews.com/news/nasional/read/19328/hikmahanto.juwana.arcandra.jangan.jadi.pemicu.revisi.uu.kewarganegaraan, 9 September 2016 pukul 09.17 WIB.
[5] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2011, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 112.

Posting Komentar untuk "Kajian Hukum Terhadap Pengembalian Status Kewarganegaraan Terhadap Seseorang Yang Telah Kehilangan Status Kewarganegaraan Indonesia"